5/1/13

Film ‘Di Balik Frekuensi’: Frekuensi Itu Milik Publik!



Sebuah film garapan Ucu Agustin bersama Aliansi Jurnalis Independen, Cipta Media Bersama, dan Gambar Bergerak berjudul “Di Balik Frekuensi” menguak tentang kondisi penyiaran televisi dan buruh Indonesia yang lebih menekankan pada pekerjaan wartawan. Film ini mengangkat dua cerita yaitu cerita Luviana, seorang wartawan media ternama yang diperlakukan tidak adil oleh tempat bekerjanya dan Hari Suwandi, salah satu korban lumpur Sidoarjo yang menuntut keadilan. Dua cerita ini yang kemudian mengupas habis bagaimana media penyiaran kita terutama televisi bekerja. Bagaimana televisi menyerang publik dengan penyiarannya yang tidak layak siar dan penuh akan konglomerasi.

Televisi telah menyerang kita, saatnya kita menyerang balik. Nina Armando selaku anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang ditemui saat diskusi film di FISIP UI mengatakan bahwa tidak adanya keberagaman berita yang kita dapatkan saat ini. Melalui film ini, terungkap bahwa penyiaran berita mengikuti pakem yang ada. Wartawan sejatinya banyak meliput berita baik, selain berita buruk seperti fenomena dukun cabul dan demo ricuh. Namun, berita yang mereka liput kebanyakan tidak disiarkan karena dinilai tidak sesuai dengan pakem yang ada dan tidak sensasional. Inilah alasan mengapa kita tidak mendapatkan berita yang bagus.

Seringkali substansi informasi yang kita dapatkan berbicara tentang kebebasan seolah-olah kita demokratis dan media sangat kritis. Melalui film ”Di Balik Frekuensi” ternyata hal itu diungkap, ada kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di media televisi kita. Merujuk pada perspektif media, kita perlu menyelami konsep literasi media yaitu kemampuan menerapkan pemikiran kritis. Media tersebut dikonstruksi oleh orang-orang yang ada dibalik media seperti adanya kepentingan ekonomi dan politik sebut saja untuk kepentingan partai politik. Apakah media penyiaran boleh digunakan untuk partisa? Jawabannya tentu saja tidak karena frekuensi adalah milik publik. Maka dari itu, kita berhak mempunyai siaran yang sehat dan bebas dari kepentingan politik tersebut.

Permasalahannya dalam media penyiaran kita adalah pelanggaran prinsip yaitu diversity of ownership dan diversity of content. Dari sepuluh stasiun televisi, pemiliknya hanyalah lima orang, hal ini yang menyebabkan kita tidak mempunyai diversity of ownership. Kedua, kita tidak mendapatkan keragaman informasi yang harus menuruti pakem-pakem tersebut, hilanglah diversity of content.

Apakah kita bisa menyerang balik televisi yang dikuasai oleh orang-orang besar? Tentu saja bisa, publik bisa bergandeng tangan dengan KPI. Tayangan televisi bisa menjadi baik jika publik menekannya demi perbaikan isi siaran. Kita bisa bertindak dengan bersuara sekeras-kerasnya. Apakah suara kita berhasil didengar? Jawabannya ya, sebagai contoh dahulu ada penayangan program bertajuk ”Primitive Runaway” di salah satu televisi swasta. Primitif adalah salah satu kata yang menyakitkan untuk semua manusia, maka dari itu publik melakukan aksi protes dan membuahkan hasil penggantian nama menjadi ”Ethnic Runaway”. Kedua, penayangan sinetron yang sarat akan tokoh Islami yang janggal sekarang penayangannya sudah berkurang, dari lima sinetron religi, dua diantaranya sudah berhenti tayang.

Tak perlu takut karena sejatinya frekuensi adalah milik publik, milik kita. Nina Armando menambahi bahwa Undang-Undang Penyairan sedang direvisi. Saat ini kita masih berpatok dengan UU Penyiaran tahun 2002. Melalui celah yaitu masa revisi ini, saatnya publik bergerak dan menjadi kritis.

Tulisan ini adalah hasil dari diskusi pemutaran film ”Di Balik Frekuensi” yang diadakan oleh Hempunan Mahasiswa Antropologi UI dengan Singa-Singa Pergerakan FISIP UI dalam rangka MayDay. Diskusi ini menghadirkan Nina Armando (anggota KPI dan dosen Ilmu Komunikasi FISIP UI) dan Dave Lumenta (dosen Antropologi FISIP UI)

No comments:

Post a Comment