Sebuah film garapan Ucu Agustin bersama Aliansi Jurnalis Independen, Cipta Media Bersama, dan Gambar Bergerak berjudul “Di Balik Frekuensi” menguak tentang
kondisi penyiaran televisi dan buruh Indonesia yang lebih menekankan pada pekerjaan wartawan. Film ini
mengangkat dua cerita yaitu cerita Luviana, seorang wartawan media ternama yang
diperlakukan tidak adil oleh tempat bekerjanya dan Hari Suwandi, salah satu
korban lumpur Sidoarjo yang menuntut keadilan. Dua cerita ini yang kemudian
mengupas habis bagaimana media penyiaran kita terutama televisi bekerja.
Bagaimana televisi menyerang publik dengan penyiarannya yang tidak layak siar
dan penuh akan konglomerasi.
Televisi telah menyerang kita, saatnya kita menyerang balik. Nina Armando
selaku anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang ditemui saat diskusi film
di FISIP UI mengatakan bahwa tidak adanya keberagaman berita yang kita dapatkan
saat ini. Melalui film ini, terungkap bahwa penyiaran berita mengikuti pakem
yang ada. Wartawan sejatinya banyak meliput berita baik, selain berita buruk
seperti fenomena dukun cabul dan demo ricuh. Namun, berita yang mereka liput
kebanyakan tidak disiarkan karena dinilai tidak sesuai dengan pakem yang ada
dan tidak sensasional. Inilah alasan mengapa kita tidak mendapatkan berita yang
bagus.
Seringkali substansi informasi yang kita dapatkan berbicara tentang
kebebasan seolah-olah kita demokratis dan media sangat kritis. Melalui film ”Di
Balik Frekuensi” ternyata hal itu diungkap, ada kejanggalan-kejanggalan yang
terjadi di media televisi kita. Merujuk pada perspektif media, kita perlu
menyelami konsep literasi media yaitu kemampuan menerapkan pemikiran kritis.
Media tersebut dikonstruksi oleh orang-orang yang ada dibalik media seperti
adanya kepentingan ekonomi dan politik sebut saja untuk kepentingan partai
politik. Apakah media penyiaran boleh digunakan untuk partisa? Jawabannya tentu
saja tidak karena frekuensi adalah milik publik. Maka dari itu, kita berhak
mempunyai siaran yang sehat dan bebas dari kepentingan politik tersebut.
Permasalahannya dalam media penyiaran kita adalah pelanggaran prinsip yaitu
diversity of ownership dan diversity of content. Dari sepuluh
stasiun televisi, pemiliknya hanyalah lima orang, hal ini yang menyebabkan kita
tidak mempunyai diversity of ownership.
Kedua, kita tidak mendapatkan keragaman informasi yang harus menuruti
pakem-pakem tersebut, hilanglah diversity
of content.
Apakah kita bisa menyerang balik televisi yang dikuasai oleh orang-orang
besar? Tentu saja bisa,
publik bisa bergandeng tangan dengan KPI. Tayangan televisi bisa menjadi baik
jika publik menekannya demi perbaikan isi siaran. Kita bisa bertindak dengan
bersuara sekeras-kerasnya. Apakah suara kita berhasil didengar? Jawabannya ya,
sebagai contoh dahulu ada penayangan program bertajuk ”Primitive Runaway” di
salah satu televisi swasta. Primitif adalah salah satu kata yang menyakitkan
untuk semua manusia, maka dari itu publik melakukan aksi protes dan membuahkan
hasil penggantian nama menjadi ”Ethnic Runaway”. Kedua, penayangan sinetron
yang sarat akan tokoh Islami yang janggal sekarang penayangannya sudah
berkurang, dari lima sinetron religi, dua diantaranya sudah berhenti tayang.
Tak perlu takut karena sejatinya frekuensi adalah milik publik, milik kita.
Nina Armando menambahi bahwa Undang-Undang Penyairan sedang direvisi. Saat ini kita masih berpatok dengan UU
Penyiaran tahun 2002. Melalui celah yaitu masa revisi ini, saatnya publik
bergerak dan menjadi kritis.
Tulisan ini adalah hasil
dari diskusi pemutaran film ”Di Balik Frekuensi” yang diadakan oleh Hempunan
Mahasiswa Antropologi UI dengan Singa-Singa Pergerakan FISIP UI dalam rangka
MayDay. Diskusi ini menghadirkan Nina Armando (anggota KPI dan dosen Ilmu
Komunikasi FISIP UI) dan Dave Lumenta (dosen Antropologi FISIP UI)
No comments:
Post a Comment