4/20/13

Berjalan Lebih Jauh


Jam weker berdering dengan keras, memekak di telinga penghuni kamar ini. Semuanya menggerutu, kecuali diriku. Ya diriku. Bukan bermaksud sombong, tetapi inilah kegiatanku sehari-hari. Mengapa harus menggerutu jika aku bisa melihat sinar mentari yang secara malu-malu memasuki jendela? Mengapa harus menggerutu jika aku bisa mendengar cicit burung yang dipelihara oleh rumah ini? Aku tak langsung membuka pintu kamar berpenghuni sepuluh orang ini. Aku selalu merayakan pukul enam pagi dengan duduk dipinggir dipan kasur. Aku merayakan pagi dengan menghadap ke jendela. Sebuah dimensi yang bisa mengantarkanku bertualang. Jendela itu bentuknya tidak istimewa, ia sudah tua. Bagiku bentuk tak masalah, yang terpenting adalah ia bisa mengantarkan aku melihat dunia ini. Sinar mentari makin menyerang keseluruhan ruangan ini, kulihat para penghuni yang masih tergeletak di kasur mulai menyerengitkan dahi sambil mengerjapkan mata. Mata mereka bergantian melihat pada jendela yang menyebabkan sukmanya bangkit. Aku tersenyum.

"Ayo bangun! Kita mau bertualang lagi kan?" seruku ke seluruh penghuni kamar ini. Mereka mulai bangkit dari kasurnya, ada yang duduk di dipan, ada yang langsung berdiri. Mereka semua melenturkan badan. Senam kecil ini adalah ritual kami. Kemudian, kami akan mengantre untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Tentunya juga berganti pakaian seadanya. Tepat jam setengah tujuh kami bersepuluh bergabung dengan penghuni kamar lainnya di rumah ini. Duduk melingkar pada meja makan yang besar, memakan roti murahan dan segelas air putih, kemudian kami bangkit kembali. Siap menerjang dunia, siap menyambut sinar mentari. 

Aku mengambil setumpuk koran yang sudah tersedia di meja depan, yang lainnya ada yang mengambil sebakul gorengan, senampan nasi uduk yang sudah dibungkus, juga ada yang mengambil selusin botol susu murni. Hari ini aku berkesempatan bertualang dengan Rifa yang kali itu membawa sebakul gorengan. Kami siap menerjang sinar mentari pagi.

"Lewat rute mana, kak Iko?", tanya Rifa. "Lewat rute rumah mbah Suratman aja yuk Fa", jawabku. "Koran koran, gorengan-gorengan", sahutku dan Rifa bergantian ketika mulai memasuki gang rumah mbah Suratman. Perlahan-lahan bakul gorengan yang Rifa jajakan sudah mulai berkurang. Ada tahu, bakwan, tempe, dan ubi. Koranku juga sudah mulai berkurang, namun kami masih harus menjajakannya kembali hingga habis. "Kak, Iko, kita udahan aja yuk. Rifa capek kak", ujar Rifa sambil menghentikan langkahnya. "Loh, Rifa kan sama kak Iko baru jalan lima belas menit, kok sudah capek? Gorengan kamu belum habis, lho", ucapku. "Rifa capek kak, Rifa bosen setiap pagi jualan mulu. Kak Iko memangnya nggak capek?", tanya Rifa. "Aku? Rasa lelah pasti ada lah Rifa, tapi aku nggak pernah keberatan kok dengan semua ini. Lagipula ini kan buat kita juga Fa, buat makan kita, minum kita, tempat tinggal kita", bicaraku pada Rifa.

Rifa diam saja, kini ia duduk pada segunduk semen yang ada pada mulut gang. "Rifa, kenapa kamu bosan? Kamu bisa mendapatkan banyak hal lho dari jualan pagi-pagi gini. Kamu bisa menyapa orang-orang yang kita lewati, kamu bisa melihat aktivitas pagi, kamu bisa mengganjal perut orang-orang yang butuh asupan untuk beraktivitas di pagi hari berkat gorengan yang kamu jual, kamu bisa mendapatkan banyak hal yang indah bahkan teman, dan akhirnya itu semua untuk kamu juga kan? Yang terpenting, kamu bisa menikmati udara pagi ini, jarang lho Fa yang bisa. Kamu tuh hebat bisa bangun pagi" ucapku dengan perlahan. "Apa yang kamu lakukan tidak sia-sia, justru berguna. Bagi orang lain dan bagi dirimu sendiri", Rifa menatapku sambil memainkan bakul gorengannya. "Jadi aku salah ya kak Iko?" tanyanya. "Kamu nggak salah kok, yuk kita berjalan lebih jauh lagi!", ajakku.

Gang demi gang kami telusuri, jalan besarpun kami taklukan. Teriakan dengan peluh keringat di dahi dan sekujur leher menemani kami berjalan. Hari itu aku mengajak Rifa berjalan lebih jauh, sekalian mengenalkan rute panjangku jika aku masih ingin berjalan. Pada satu titik rumah besar yang mempunyai taman indah aku menghentikan langkahku. "Coba lihat perempuan yang duduk di taman itu deh Fa, itu namanya kak Rini. Dia nggak bisa melihat, tapi dia selalu bangun pagi. Dia pasti duduk di taman sambil minum teh di bangku itu", ceirtaku pada Rifa. "Ada orang yang hanya bisa menikmati pagi dengan membauinya dan merasakannya tanpa melihatnya, kamu termasuk orang yang beruntung bisa menyambut pagi sambil melihatnya", ucapku dengan senyuman. Kami berjalan lebih jauh lagi. Kali ini aku berhenti di sebuah rumah berwarna cokelat yang sederhana. "Permisi mbah Ima, ini korannya ya. Mbah Ima aku mau kenalkan mbah sama seseorang nih, namanya Rifa", ucapku pada Mbah Ima yang sedang menikmati pagi di teras rumah. "Rifa, ini kenalin mbah Ima, mbah ini baik sekali lho dia punya banyak buku cerita. Aku sering meminjamnya, mbah Ima si Rifa boleh kan liat koleksi buku ceritanya?", tanyaku pada mbah Ima. "Ya, tentu boleh lah Iko, ayo Rifa kalau kamu mau baca buku cerita silakan masuk saja ke ruang tamu, mbah simpan buku cerita di lemari", Rifa dan aku untuk beberapa menit tenggelam di lemari milik mbah Ima yang berisikan warna-warni sampul buku cerita, Rifa memutuskan untuk meminjam buku cerita anak-anak bersampul oranye.

"Masih banyak lho Fa yang kak Iko belum tunjukkan ke kamu, dengan bangun pagi dan berjalan lebih jauh kamu bisa menemukan banyak hal yang menarik. Kamu nggak akan bosan, Fa", ucapku pada Rifa. "Iya ya kak Iko, biasanya aku cuma jualan gorengan sama nasi uduk dengan teriak-teriak aja, aku nggak menyapa orang-orang disekitarku, nggak kenalan juga", ujarnya sambil melihat sampul buku cerita. Tampaknya Rifa senang. "Kak Iko, besok kita bangun lebih pagi yuk, ajak aku berjalan lebih jauh ya!", ujarnya semangat.

Semua orang punya rutinitas, semua orang punya tingkat kebosanan. Punya tingkat kemuakkan. Begitupula dengan diriku. Aku pernah bosan tidur di kamar berpenghuni sepuluh orang, aku pernah bosan ketika harus sarapan roti sobek isi cokelat di meja makan yang besar, aku pernah bosan tinggal di panti anak. Aku pernah bosan menjajakan koran. Aku pernah bosan membagi dua penghasilan berjualan koranku dengan pemimpin panti anak. Sampai suatu hari, saat aku termenung di jendela kamar pagi hari. Aku melihat dunia begitu berbeda. Orang-orang di jalan saling menyapa, tersenyum, tertawa. Aku harus berinteraksi dengan dunia, berinteraksi dengan hal yang baru. Aku tak boleh menyerah pada bosan dan muak karena aku amini bahwa hidup itu berharga. Aku harus berjalan lebih jauh.

"Bangun, sebab hidup teramat berharga dan kita jalani, jangan menyerah. Berjalan lebih jauh, menyelam lebih dalam, jelajah semua warna, bersama..." (Banda Neira - Berjalan Lebih Jauh)

Lantunan kelana:


No comments:

Post a Comment