Sebuah sepeda berwarna biru yang sudah terkelupas kukayuh kencang-kencang menuju tempat peraduan itu. Mengantarkanku ditemani pohon-pohon yang tersisakan rantingnya. Tak peduli pedal yang sudah koyak. Tak peduli sadel yang sudah naik turun. Tak peduli rantai yang sudah usang. Tak peduli ban yang mulai menipis. Tak peduli keranjang yang sudah lusuh. Tak peduli pada rem yang sudah tak mau diperintah untuk berhenti. Tak peduli keringatku bercucuran deras. Tak peduli air mata menghiasi pipiku di kala senja. Tak peduli sandal cokelat susuku berlapiskan debu. Tak peduli mata kakiku beradu dengan kerikil tajam. Tak peduli pada jalanan yang mempunyai medan kejam. Tak peduli ayam-ayam yang sedang berkeliaran di jalan berkerikil. Tak peduli pada sepeda yang kukayuh kencang. Tak peduli pada cuaca yang panas. Tak peduli pada yang ada disekelilingku. Karena aku punya rasa. Dan mereka tidak.
PRANG!!!!
Suara piring jatuh ke lantai, tumpah ruahlah isinya.
Ayah: Aku sudah bilang aku tak suka sayur ini, Laksmi! Sudah belasan tahun tinggal bersama, kau lupa pada kebencianku?
Ibu: Tapi aku suka memasaknya, silahkan pergi ke warung Ratmi, belilah lauk dan pauk! Kau juga! Sudah belasan tahun tapi tak mengerti apa yang kumau!
Ayah: Seharusnya belasan tahun itu aku pergi, tak tahan aku!
Ibu: Begitulah seharusnya engkau! Kalau aku ada di posisimu, aku akan pergi. Sayangnya kau pecundang, kau takut akan taruhan itu hah? Lelaki macam apa kau!
Lalu, Ayah pergi meninggalkan rumah. Dan tak pernah kembali. Duwan dan Urayanak. Begitulah sistem kebudayaan kami. Kebudayaan atas pembedaan gender secara tradisional yang masih berlaku. Wanita dihargai murah. Murah semurah-murahnya walau ditukar dengan emas semahal-mahalnya. Cerita berawal pada belasan tahun silam, dimana ayahku dijodohkan dengan ibuku. Lalu ibuku dibeli dengan emas yang sangat berlimpah. Ayah sebenarnya tak mau, ia bisa saja menolak, tapi ia takut. Takut dengan taruhan keluarganya. Kemudian ibu menjadi lemah, lemah karena harus taat pada suami dan keluarga suami. Ibu harganya sangat rendah meski Ibu tak mau dihargai rendah, tapi apa daya. Sebuah sistem budaya dimana wanita adalah aset keluarga dari segi perolehan mas kawin untuk meningkatkan taraf hidup keluarga.
Ada rasa pahit yang mengisi tubuhku. Lalu aku menangis. Menangis dalam diam. Karena aku punya rasa. Dan mereka tidak.
BRAAAKKKK!!!
Pintu rumahku seperti ditendang oleh makhluk raksasa. Dua orang bertubuh tegap berdiri di ambang pintu dengan congkak. Aku lihat dibalik dua tubuh raksasa itu ada ayahku. Iya ayahku! Ayahku yang sangat ku rindukan. Namun, tiba-tiba ayahku berteriak membabi buta. Berteriak memanggil Ibuku. Ibu datang ke ambang pintu. Tersungkurlah badannya di ambang pintu. Darah mengalir di lantai kayu. Aku hanya bisa diam dari perbatasan ruang tamu dan makan. Aku memandang ayah. Ayah membuang muka. Ayah telah membunuh Ibu. Di depan buah hatinya sendiri. Ayah pergi. Begitupula dua raksasa. Aku menangis. Menjerit. Tetangga berhamburan ke teras rumahku. Aku sakit. Karena aku punya rasa. Dan mereka tidak.
Tiga tahun telah kulalui dengan seorang diri. Mungkin tidak, aku ditemani Ende yang merupakan pengasuhku. Tetangga sekitar memberikan anugerah Ende untuk menemaniku tinggal di rumah orang tuaku, katanya mereka tidak tega melihatku sendiri. Biarpun ada Ende, aku merasa aku sendiri. Darah itu masih ada di lantai kayu ambang pintu. Sudah dibersihkan namun tak kunjung hilang. Mungkinkah itu pertanda bahwa Ibuku masih berkeliaran disini. Ya, aku harap. Aku masih mengayuh sepedaku dengan kencang. Inilah kegiatan ketika aku merasa perlu bercerita. Bercerita ke dua tempat peraduan itu. Gunung yang selalu dikepuli asap di kepalanya. Memandangi kepulan asap berharap aku adalah asap itu. Terbang tinggi lalu lenyap. Mungkin asap itu akan mengantarkanku ke tempat Ibu berada. Aku berkeluh kesah memandangi gunung seolah gunung menyimak ceritaku. Ceritaku yang penuh pertanyaan juga pernyataan. Beralih ke selatan, aku mampir ke laut. Tempat peraduan keduaku. Aku bertanya pada debur ombak, namun mereka tidak memberikanku jawaban. Mereka malah mondar-mandir mendekatiku lalu menjauhiku seakan aku adalah makhluk yang labil. Aku bercerita pada gunung dan laut. Aku tertawa, aku menangis, aku tersenyum, aku meringis kepada gunung dan laut. Bertanya mengapa aku ada. Bertanya mengapa aku perlu mengadu kepada mereka, kepada gunung dan laut. Bukan ke Ende. Atau ke tetanggaku. Atau ke keluarga Ibuku. Mengapa aku perlu mengadu pada gunung dan laut? Entahlah, yang jelas aku butuh mengadu. Karena aku punya rasa. Dan mereka tidak.
"Tak perlu tertawa atau menangis pada gunung dan laut karena gunung dan laut tak punya rasa." - Payung Teduh
Lantunan kelana:
Payung Teduh - Cerita Tentang Gunung dan Laut
No comments:
Post a Comment