Laila:
"Hhhh... hhh.... hhhh......" hanya suara itu yang bisa aku dengar sekarang, suara nafasku yang tak beraturan. Sekaligus suara derap langkahku dan gemerincingan alat kosmetik di dalam tas kecil andalanku. Gang demi gang aku lewati, lari membabi buta, sambil sesekali melihat ke arah belakang dan terus menerus membenahi syal yang melingkar di leherku. Dengan tergesa-gesa aku mencari kunci di dalam tas kosmetikku. Lipstik berjatuhan, bedak, foundation, semuanya berjatuhan. Gemetar tanganku dibuatnya. Akhirnya kunci rumah ku temukan dengan cepat aku masuk ke dalam, menendang alat kosmetik yang berjatuhan ke dalam rumah, menutup pintu dengan kencang, dan....... menangis. Menangis dalam sepi. Lalu aku mendengar deru motor yang lumayan kencang berdiam diri di depan rumahku. Satu detik, dua detik, tiga detik, empat detik, lime detik......... sepuluh detik, lalu ia pergi. Aku melayangkan pandanganku pada jam dinding di ruang tamu usang ini, masih jam tiga siang ternyata.
Rendra:
"Brrmm... brmmm... brmmm...." aku mengatur kecepatan motorku di antara gang sempit ini. Di kejauhan aku melihat seorang wanita berbadan lentur dan kurus mengenakan baju polos merah dan celana jeans. Masih setia menenteng alat kosmetik berwarna cokelat dan mengenakan syal batik hijau toska. Ia berlari kencang seolah tak mau aku berhasil menangkapnya. Deru motor ini terus menggema di gang kecil, kesulitan aku dibuatnya. Motor besar beradu dengan tembok gang senggol ini. Beberapa kali sikutku berbenturan dengan dinding gang yang bergerigi, menghasilkan baretan merah, mengelupasnya kulit dan mengalirlah darah dari dalamnya. Tubuh wanita itu tak terlihat lagi. Aku kalah. Lagi. Aku arahkan motorku ke rumahnya. Tampaknya ia sudah di dalam rumah dan mengurung diri di kamar. Aku membiarkan menatap pintu biru rumah yang lebih megah dari rumahku itu selama beberapa detik. Kehadiranku di rumah itu berakhir pada helaan napas yang panjang dan tentunya kekecewaan.
"Hhhh... hhh.... hhhh......" hanya suara itu yang bisa aku dengar sekarang, suara nafasku yang tak beraturan. Sekaligus suara derap langkahku dan gemerincingan alat kosmetik di dalam tas kecil andalanku. Gang demi gang aku lewati, lari membabi buta, sambil sesekali melihat ke arah belakang dan terus menerus membenahi syal yang melingkar di leherku. Dengan tergesa-gesa aku mencari kunci di dalam tas kosmetikku. Lipstik berjatuhan, bedak, foundation, semuanya berjatuhan. Gemetar tanganku dibuatnya. Akhirnya kunci rumah ku temukan dengan cepat aku masuk ke dalam, menendang alat kosmetik yang berjatuhan ke dalam rumah, menutup pintu dengan kencang, dan....... menangis. Menangis dalam sepi. Lalu aku mendengar deru motor yang lumayan kencang berdiam diri di depan rumahku. Satu detik, dua detik, tiga detik, empat detik, lime detik......... sepuluh detik, lalu ia pergi. Aku melayangkan pandanganku pada jam dinding di ruang tamu usang ini, masih jam tiga siang ternyata.
Rendra:
"Brrmm... brmmm... brmmm...." aku mengatur kecepatan motorku di antara gang sempit ini. Di kejauhan aku melihat seorang wanita berbadan lentur dan kurus mengenakan baju polos merah dan celana jeans. Masih setia menenteng alat kosmetik berwarna cokelat dan mengenakan syal batik hijau toska. Ia berlari kencang seolah tak mau aku berhasil menangkapnya. Deru motor ini terus menggema di gang kecil, kesulitan aku dibuatnya. Motor besar beradu dengan tembok gang senggol ini. Beberapa kali sikutku berbenturan dengan dinding gang yang bergerigi, menghasilkan baretan merah, mengelupasnya kulit dan mengalirlah darah dari dalamnya. Tubuh wanita itu tak terlihat lagi. Aku kalah. Lagi. Aku arahkan motorku ke rumahnya. Tampaknya ia sudah di dalam rumah dan mengurung diri di kamar. Aku membiarkan menatap pintu biru rumah yang lebih megah dari rumahku itu selama beberapa detik. Kehadiranku di rumah itu berakhir pada helaan napas yang panjang dan tentunya kekecewaan.
Date: 17/10/2001
Time: 18:17
From:Narendra
Laila, aku sungguh mau bicara denganmu. Satu jam saja aku mohon. Kabari aku tempat dan jam yang kau mau. Rendra.
Time: 18:17
From:Narendra
Laila, aku sungguh mau bicara denganmu. Satu jam saja aku mohon. Kabari aku tempat dan jam yang kau mau. Rendra.
Laila:
Itulah sms yang selalu aku terima dari Rendra, selalu itu. Tak berubah dari hari ke hari bahkan bulan ke bulan. Aku ingin menemuinya namun tak ingin. Bah! Macam apa ini yang ada di pikiranku. Sebenarnya aku rindu namun aku malu. Aku juga marah tetapi pasrah. Aku tak tahu harus berbuat apa. Hanya kosmetik ini yang sekarang menemaniku dan juga suamiku sekarang yang sedang merantau ke kebun karet di daerah Timur Jawa. Sms ini aku hapus, aku hapus juga dari ingatanku. Ya, hasilnya tak berhasil. Aku tak bisa menghapusnya. Namun aku bangga, setidaknya aku bisa tahan untuk tidak membalasnya apalagi mengiyakan ajakan acara temu tersebut.
Laila:
Jam delapan pagi. Nasi uduk buatan Mbok di ujung komplekku yang selalu ramai pembeli menjadi sarapanku kali ini ditambah segelas teh tawar. Membenahi alat kosmetik di dalam tas cokelat, aku siap melakukan pekerjaan kesukaanku, menjadi penata rias untuk gedung kesenian di tengah kota. Hari ini akan ada pementasan tari kontemporer dari seniman-seniman muda asal Banten. Kulangkahkan kakiku ke depan jalan untuk mencari taksi. Melewati gang demi gang. Aku tak takut lagi dikejar orang itu, toh jam segini ia kan bekerja di gedung kesenian pinggiran Jakarta. Aku tahu jadwalnya. Aku tak perlu khawatir.
08:13
Seseorang mencengkram tanganku. Cengkaraman yang hebat. Aku menoleh kebelakang untuk tahu siapa yang mencengkram tanganku. Dialah Rendra. Seniman hebat. Aku lihat rambut ikalnya, kemeja jeans kebangannya, dan celana coklat kopi susu, juga sepatu panotfelnya. Aku terkejut. Aku teriak. Menggoyangkan cengkramannya agar terlepas. Aku menangis.
08:16
Aku sedang berada di motor Rendra. Aku diboncenginya. Aku berusaha menata perasaanku. Juga air mata ini.
08:45
Aku tak peduli lagi aku akan dimarahi atasanku karena keterlambatan merias penari kontemporer di gedung kesenian itu. Aku sekarang berada di depan rumah Rendra. Rumah kecil yang manis, hangat, dan penuh kenangan. Dulu rumah ini adalah rumah kita berdua.
08:47
Aku diajak Rendra masuk ke dalam sebuah ruangan, dulu ruangan tersebut adalah gudang perkakas miliknya. Cat, kanvas, benang, gerabah, segala macam perkakas yang tak asing dalam pandanganku. Namun, ruangan itu kini berubah, semuanya putih. Namun lantainya dipenuhi benang merah. Juga sebuah boneka berwarna putih, berkepala mengerucut, berperawakan meledek. Aku menatapnya. Rendra menatapku. Dan ia pergi meninggalkanku. Sendiri. Salah. Aku tidak sendiri, aku ditinggalkan berdua dengan boneka penuh benang merah.
08:51
Aku masih memandangi boneka ini, aku berusaha mencari apa maksud Rendra menyuguhkan boneka yang mempunyai paras menyebalkan ini, ditambah benang merah yang berbalut di tubuhnya. Aku menangis. Kemudian aku mendengar deru motor Rendra menjauh. Ia benar-benar meninggalkanku.
08:55
Tiba-tiba terdengar alunan oriental dengan suara lembut wanita mengulangkan kalimat "Aku tahu ini hanya sebuah duka biasa..." Aku menangis, menunduk, meraih benang merah di lantai yang terceceran.
20 Januari 2001
Rumah aku dan Rendra terbakar. Koleksi alat rias, alat salon, dan semua hartaku ludes. Begitupula dengan perkakas dan karya-karya Rendra. Aku marah. Aku menangis. Aku tak rela semua alat kebanggaanku ludes dilahap api. Rendra tidak marah. Ya jelas, Rendra yang menyebabkan kebakaran ini, ia lupa mematikan api untuk membuat patungnya. Entah eksperimen apa yang ia lakukan kali itu. Yang jelas aku marah. Aku memutuskan hubungan suami istri ku dengannya dan berpaling kepada juragan karet yang bisa memberikan alat kebangganku lagi dengan jumlah yang melimpah dan tak harus menunggu lama. Seniman lawan juragan karet. Jika aku masih bersamanya, bersama seniman itu, tak tahu harus menunggu berapa lama agar alat kebangganku kembali bersamaku. Persoalan tak selesai begitu saja, suami baruku tak suka aku menjadi penata rias untuk gedung kesenian tersebut. Jadi selama ini aku masih merahasiakan bahwa hingga sekarang tetap menjadi penata rias. Bukan ibu rumah tangga yang suka bersolek diri. Untungnya, suami baruku sering merantau kesana kemari. Namun.... aku masih merasakan kekurangan. Kekurangan itu adalah orang yang selalu mendukung apa yang aku inginkan. Itu ada di diri Rendra. Bukan suami baruku.
Itulah sms yang selalu aku terima dari Rendra, selalu itu. Tak berubah dari hari ke hari bahkan bulan ke bulan. Aku ingin menemuinya namun tak ingin. Bah! Macam apa ini yang ada di pikiranku. Sebenarnya aku rindu namun aku malu. Aku juga marah tetapi pasrah. Aku tak tahu harus berbuat apa. Hanya kosmetik ini yang sekarang menemaniku dan juga suamiku sekarang yang sedang merantau ke kebun karet di daerah Timur Jawa. Sms ini aku hapus, aku hapus juga dari ingatanku. Ya, hasilnya tak berhasil. Aku tak bisa menghapusnya. Namun aku bangga, setidaknya aku bisa tahan untuk tidak membalasnya apalagi mengiyakan ajakan acara temu tersebut.
Laila:
Jam delapan pagi. Nasi uduk buatan Mbok di ujung komplekku yang selalu ramai pembeli menjadi sarapanku kali ini ditambah segelas teh tawar. Membenahi alat kosmetik di dalam tas cokelat, aku siap melakukan pekerjaan kesukaanku, menjadi penata rias untuk gedung kesenian di tengah kota. Hari ini akan ada pementasan tari kontemporer dari seniman-seniman muda asal Banten. Kulangkahkan kakiku ke depan jalan untuk mencari taksi. Melewati gang demi gang. Aku tak takut lagi dikejar orang itu, toh jam segini ia kan bekerja di gedung kesenian pinggiran Jakarta. Aku tahu jadwalnya. Aku tak perlu khawatir.
08:13
Seseorang mencengkram tanganku. Cengkaraman yang hebat. Aku menoleh kebelakang untuk tahu siapa yang mencengkram tanganku. Dialah Rendra. Seniman hebat. Aku lihat rambut ikalnya, kemeja jeans kebangannya, dan celana coklat kopi susu, juga sepatu panotfelnya. Aku terkejut. Aku teriak. Menggoyangkan cengkramannya agar terlepas. Aku menangis.
08:16
Aku sedang berada di motor Rendra. Aku diboncenginya. Aku berusaha menata perasaanku. Juga air mata ini.
08:45
Aku tak peduli lagi aku akan dimarahi atasanku karena keterlambatan merias penari kontemporer di gedung kesenian itu. Aku sekarang berada di depan rumah Rendra. Rumah kecil yang manis, hangat, dan penuh kenangan. Dulu rumah ini adalah rumah kita berdua.
08:47
Aku diajak Rendra masuk ke dalam sebuah ruangan, dulu ruangan tersebut adalah gudang perkakas miliknya. Cat, kanvas, benang, gerabah, segala macam perkakas yang tak asing dalam pandanganku. Namun, ruangan itu kini berubah, semuanya putih. Namun lantainya dipenuhi benang merah. Juga sebuah boneka berwarna putih, berkepala mengerucut, berperawakan meledek. Aku menatapnya. Rendra menatapku. Dan ia pergi meninggalkanku. Sendiri. Salah. Aku tidak sendiri, aku ditinggalkan berdua dengan boneka penuh benang merah.
08:51
Aku masih memandangi boneka ini, aku berusaha mencari apa maksud Rendra menyuguhkan boneka yang mempunyai paras menyebalkan ini, ditambah benang merah yang berbalut di tubuhnya. Aku menangis. Kemudian aku mendengar deru motor Rendra menjauh. Ia benar-benar meninggalkanku.
08:55
Tiba-tiba terdengar alunan oriental dengan suara lembut wanita mengulangkan kalimat "Aku tahu ini hanya sebuah duka biasa..." Aku menangis, menunduk, meraih benang merah di lantai yang terceceran.
20 Januari 2001
Rumah aku dan Rendra terbakar. Koleksi alat rias, alat salon, dan semua hartaku ludes. Begitupula dengan perkakas dan karya-karya Rendra. Aku marah. Aku menangis. Aku tak rela semua alat kebanggaanku ludes dilahap api. Rendra tidak marah. Ya jelas, Rendra yang menyebabkan kebakaran ini, ia lupa mematikan api untuk membuat patungnya. Entah eksperimen apa yang ia lakukan kali itu. Yang jelas aku marah. Aku memutuskan hubungan suami istri ku dengannya dan berpaling kepada juragan karet yang bisa memberikan alat kebangganku lagi dengan jumlah yang melimpah dan tak harus menunggu lama. Seniman lawan juragan karet. Jika aku masih bersamanya, bersama seniman itu, tak tahu harus menunggu berapa lama agar alat kebangganku kembali bersamaku. Persoalan tak selesai begitu saja, suami baruku tak suka aku menjadi penata rias untuk gedung kesenian tersebut. Jadi selama ini aku masih merahasiakan bahwa hingga sekarang tetap menjadi penata rias. Bukan ibu rumah tangga yang suka bersolek diri. Untungnya, suami baruku sering merantau kesana kemari. Namun.... aku masih merasakan kekurangan. Kekurangan itu adalah orang yang selalu mendukung apa yang aku inginkan. Itu ada di diri Rendra. Bukan suami baruku.
Date: 18/10/2001
Time: 09:02
From:Narendra
Laila apakah kamu masih membanggakan hartamu itu? Aku sungguh minta maaf. Memang sudah terlambat. Aku tidak meminta kau untuk kembali bersamaku karena itu mustahil. Yang aku mau hanya tuntaskan kesedihanmu itu. Maafkan aku tak bisa menjadi wujud yang baik bagimu.
Date: 18/10/2001
Time: 09:07
From:Narendra
Perhatikan benda yang ada di depanmu, aku tahu kau merasa terikat dengan suamimu sekarang. Aku yakin kamu sudah menemukan benang merahmu, namun kamu masih belum merapikannya. Rapikanlah. Karena dukamu itu hanya sebuah duka biasa....
"Kali ini aku yang terpaku, ratap tangis sendu serta pilu. Ku tahu ini hanya sebuah duka biasa, namun tetap kunyanyikan." (Bonita)
Lantunan kelana:
Bonita - Pengulangan
Time: 09:02
From:Narendra
Laila apakah kamu masih membanggakan hartamu itu? Aku sungguh minta maaf. Memang sudah terlambat. Aku tidak meminta kau untuk kembali bersamaku karena itu mustahil. Yang aku mau hanya tuntaskan kesedihanmu itu. Maafkan aku tak bisa menjadi wujud yang baik bagimu.
Date: 18/10/2001
Time: 09:07
From:Narendra
Perhatikan benda yang ada di depanmu, aku tahu kau merasa terikat dengan suamimu sekarang. Aku yakin kamu sudah menemukan benang merahmu, namun kamu masih belum merapikannya. Rapikanlah. Karena dukamu itu hanya sebuah duka biasa....
"Kali ini aku yang terpaku, ratap tangis sendu serta pilu. Ku tahu ini hanya sebuah duka biasa, namun tetap kunyanyikan." (Bonita)
Lantunan kelana:
Bonita - Pengulangan
No comments:
Post a Comment