Air dari jarum kompas Selatan tersebut selalu membenturkan dinginnya ke kaki-kaki mungilku yang tak bersalah ini. Deburnya pun tak segan mengusik ketenanganku. Dulu, tiga bulan yang lalu, ombak-ombak ini menjadi dendang yang indah di telingaku, tetapi sekarang..... justru mengusik ketenanganku. Sila panggil aku orang aneh, memang orang-orang datang ke pantai ini justru ingin mendengarkan debur ombak yang katanya merdu. Aku tidak lagi menyukainya. Dulu selalu ada wujud yang menemaniku duduk-duduk di lembutnya pasir kelabu. Menemani kaki mungilku dibenturkan air laut. Sekarang tidak lagi. Kabut yang menyelimuti pantai ini serasa menjadi teman yang aku undang di pesta kekelaman. Serat-serat kayu kering juga turut datang dengan tidak diundang, seolah-olah ingin menjerat kakiku agar tidak pergi kemana-mana. Pasir kelabu ini berubah menjadi kehitaman dan berbentuk garis bergelombang, terkena air dan roda dari andong yang disewakan. Mungkin sama seperti mataku yang lama-lama menghitam dan pipiku menyisakan garis bergelombang ke dagu. Mataku persis pasir.
Tiga bulan sebelas hari yang lalu....
"Piro hargane mbak?" tanya lelaki berparas 20 tahunan yang memiliki kulit hitam manis akibat sinar keemasan dari langit. "Limang atus saja, mas" jawabku sambil tersenyum. Senyumanku tak sengaja terlontarkan, sila panggil aku penjual otak-otak pinggir pantai yang paling genit. Sungguh tak kuasa, melihat wujud tersebut di hadapanku, bertanya berapa harga jualanku, dan hendak membelinya. "Hmm, aku beli 10", ucap wujud yang sekarang sedang membawa papan luncur kecil. Aku segera menyibukkan diri dengan membuka daun-daun terbakar yang melekat pada tubuh otak-otak ini, memindahkannya ke plastik dan menuangkan saus kacang yang menurutku manis. Semanis hari itu aku rasa. "Udah lama jualan disini mbak? Oh iya, namaku Bagus......................."
HAHAHAHAHAHAHA. Itulah bentuk tawaku dalam hati sekarang ini. Lelucon apa yang menghadirkan kenangan tiga bulan tersebut kembali ke hari ini. Lelucon macam apa? Muak. Muak. Semuanya membuatku muak. Diriku berdiri, menghadap ke koordinat kesukaanku dan tertawa. Ya, tertawa. Tertawa kecil agar orang sekitar yang sedang bermain air asin dan pasir kelabu tidak terusik, tidak menganggapku gila. Bagus, 21 tahun, penyewa papan luncur kecil. Ia perantau, entah merantau dari mana. Ia tidak cerita tentang asal muasalnya, ia hanya bercerita kota mana saja yang telah ia arungi, pantai mana saja yang ia telah taklukan. Jelasnya, ia hanya bisa membuatku tertawa, tersenyum, dan membuat muka ini merah, juga hati ini suka cita. Ia juga bisa membuat debur ombak menjadi dendang yang indah, lantunan sinden Mbok Ratmi, penyinden terkenal di kampungku, kalah merdunya. Ia bisa membuat angin pantai Selatan ini menjadi penyejuk tubuhku, ruangan ber-AC yang ada di kantor pak Camat kalah sejuknya. Lagi, lelucon yang ada di otakku bekerja keras menghadirkan suasana sejuk tersebut. Lelah. Aku benar-benar lelah, bertanya ke orang-orang yang sempat menjadi teman penjual papan luncur mini. Lelah aku bertanya kepada mereka, kemana kamu pergi. Lelah aku selalu berdiri di koordinat ini dan tertawa. Lelah aku bertanya......... kota mana lagi yang kau arungi? Pantai mana lagi yang kau taklukan? Aku harap kau tak bertemu perempuan macam aku di belahan pantai sana. Ya, aku harap.
"If loving you is heartbreaking, so be it. If loving you is one way street, I’ll walk alone." (Munchausen Trilemma)
Lantunan kelana:
Munchausen Trilemma - If Loving You Is A Heartbreaking
No comments:
Post a Comment