15 Januari 1994
"Kopi taloe Bukittinggi, teh jahe Salatiga, dan hot chocolate-nya masing-masing satu." Itu adalah ucapan kalimat setiap akhir pekan yang keluar dari mulut seorang Rania, teman ku yang tajam mulutnya itu, di sebuah kedai kopi favorit kami di bilangan pusat Jakarta. Rania, Sari, dan aku. Bisa ditebak dari mimik wajah dan kata-kata yang terlontar dari kami bertiga, siapa yang memilih tiga minuman berbeda tersebut. Pertama, kopi taloe Bukittingi, butir-butir kopi dicampur telur ayam Kampung cocok sekali buat Rania yang perawakannya tegas setegas rasa kopi yang kuat. Sari, dilihat dari namanya saja sudah manis, dilihat dari wajahnya sudah pasti jawabannya ayu, didengar dari omongannya ya ampun.... Jawane banget, cocoklah dia selalu memesan cokelat panas yang manis. Aku cukup memesan teh jahe Salatiga, jahe mungkin cocok buat perawakanku yang adem ayem, bisa menelaah pemikiran yang panas dengan diguyur air dingin. Mungkin ini hari-hari akhir pekan menuju terakhir berkumpul dengan para sahabat-sahabatku, mengingat beberapa bulan lagi Rania akan ke Amsterdam mengambil kuliah hukumnya dan Sari malah merantau ke Bali mewarisi bisnis bapakknya. Sedangkan aku? Jakarta sudah sangat cukup, aku telah dibuainya, dibuat sangat jatuh cinta olehnya bagai perangko dengan amplop. Gelak tawa, kepulan panasnya minuman kami, bingkai-bingkai tua yang terpasang di dinding, omongan tajam Rania, nasihat manis Sari, sapaan para pelayan kedai, buku bacaan, air mata duka lara, hhhhh semuanya terkubur disini, terpenggal banyak cerita disini, yang sebentar lagi mereka akan tinggalkan. Maaf memaafkan, sesi foto dengan polaroid usang, cubit-mencubit pipi, pelukan erat, dan janji akan bertemu lagi juga derai air mata haru antara bahagia mempunyai sahabat seperti ini dan sedih akan berpisah sementara tentunya hal yang aku rindukan pada tanggal 15 Januari 1994.
28 April 2011
28 April 2011
"Kopi taloe Bukittinggi, teh jahe Salatiga, dan hot chocolate-nya masing-masing satu." Sekarang ucapan rutinitas Rania sudah sah menjadi milikku sendiri. Tidak, bukan karena Rania bosan, Rania tidak ada disini, begitupula dengan Sari. Ya aku sendiri. Rindu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kejadian ini. Setiap akhir bulan, bukan akhir pekan, selalu kusempatkan datang ke kedai kopi penuh cerita ini. Mengambil satu hari ditengah deadline artikel-artikel yang harus segera kurampungkan di rumah. Mungkin orang-orang di kedai kopi ini memicingkan mata bahkan mengerutkan dahi melihat aku memesan tiga cangkir sekaligus, namun tidak dengan pelayan bertubuh gempal yang sejak tahun '94 melayani kedai ini. Silahkan bertanya-tanya pada diri anda wahai saudara-saudara. Tujuh belas tahun lamanya belum sempat berjumpa lagi, hanya ada deraian tawa dari telepon genggam setidaknya tiga bulan sekali. Beruntung memang masih dikaruniai hidup menghabiskan sejam untuk bertukar cerita dengan sahabat lama. Kursi yang ada di dekat pintu ini tidak terganti sejak tahun '94, bingkai-bingkainya pun tak diganti, bahkan tak ada menu baru yang tertera di lembaran menu, hanya cat saja yang baru menorehkan lembaran baru di kedai ini ditambah dengan beberapa pelayan muda. Buku sejarah heroik, selembar foto polaroid usang Rania dan juga jam tangan pemberian Sari selalu menemani tiga cangkir untuk menghabiskan hari di era modern ini. Melayangkan pandangan kepekatnya teh jahe ini, menelusuri memorabilia hangat orde lama, jelajahi gejolak rindu di hati.... bawa diri pulang, rindu, segera.
Lantunan kelana:
Mian Tiara - Ini Rindu
Lantunan kelana:
Mian Tiara - Ini Rindu
No comments:
Post a Comment