Coba dongakkanlah kepalamu ke luasan biru di atas! Kapas-kapas tipis putih setia menemani luasan biru nun jauh disana. Birunya tidak pudar dengan gumpalan debu dan butiran pasir yang memerangi saya di bawah teriknya sang lingkaran oranye. Bertelanjang kaki mengarungi medan perang jutaan pasir dan debu panas adalah rutinitas saya sehari-hari, lekas saya hitung sejenak, ya 43 tahun lamanya. Terkadang saya mendengus kesal jika melihat luasan biru yang sangat bersih, ya saya tahu saya adalah orang terbodoh di Jakarta ini, tidak menyukai luasan biru sebening ini di tengah lingkaran setan ibu kota yang memuakkan. Menggelitik perut, memindahkan darah kegelisahan hingga ujung kepala, lalu mengeluarkannya bagai muntahan tak berperikemanusiaan. Mengapa kapas putih itu selalu setia menemani luasan biru? Mengapa buah hati saya tak setia menemani orang yang menceburkannya ke dunia ini? Mengapa dan mengapa selalu timbul ketika saya dan teman-teman melepas penat di pukul satu siang dengan dinginnya es kopi susu murahan serta merta nasi bungkus yang membosankan. Kenangan manis yang sekarang perlahan-lahan menjadi pahit seperti obat terus melintasi benakku.
"Kalau aku besar aku ingin jadi nahkoda kapal, Pak" ujar anak semata wayangku. "Mengapa memilih itu, Ben?" tanyaku. "Biar bisa keliling lautan lah Pak, nanti akan kuajak Bapak mengarungi samudra luas, kemaren aku ngeliat Pak Kasim memutar-mutar setiran di kapalnya itu, mungkin bisa menjadi bekal untukku kelak" semangat Beni menggebu-gebu menceritakan kesehariannya yang selalu kuajak ke pelabuhan Sunda Kelapa, tempat dimana aku mengais lembaran uang kusam. "Toh, Bapak nggak bosan cuma jadi kuli angkut barang, kerjaannya angkut karung-karung dan benerin kapal terus, kenapa Bapak nggak belajar jadi nahkoda sih?" Beni melontarkan pertanyaan yang cukup menyilet hatiku. "Tidak semudah itu Ben, lagipula Bapak juga senang kok dengan pekerjaan ini, yang penting kita bisa hidup kan" jawabku tenang, setenang air permukaan pinggiran laut Jakarta ini. "Duh, Bapak pikirannya kolot sekali!" Beni menggerutu, lagi dan lagi.
Sekarang saya sudah berusaha merajut mimpi, jadi nahkoda, nak. Memang bukan nahkoda kapal besar seperti yang kau inginkan. Tidak ada setir kapal, yang ada cuma dayung dari kayu yang rapuh ini. Tak ada kapal besar bermuatan orang banyak, yang ada sampan kecil yang mengangkut orang-orang yang jarang sekali mau naik sampan ini. Benang-benang yang lain masih berceceran dimana-mana, jarumnya pun selalu hilang. Kerutan di wajah saya mungkin menandakan saya tak mampu lagi mencari jarum tersebut, saya tak putus asa, tapi inilah kenyataan. Saya masih setia dengan tambalan-tambalan kayu kapal yang bocor, masih setia dengan karung-karung berdebu di pundak saya. Apa kabar kau yang telah menjadi nahkoda hebat di belahan samudra sana? Apakah kau telah pada benang terakhir untuk menyempurnakan rajutan mimpimu? Kuharap begitu. Apakah kau selalu melihat ke atas, ke luasan biru yang bening ini, seperti aku? Kuharap juga begitu. Ku harap kita bertemu di tengah-tengah luasan biru bermandikan kapas tipis putih. Mendongaklah, nak.
Lantunan kelana:
Beach House - 10 Mile Stereo
No comments:
Post a Comment