9/20/12

Sepuluh Perpisahan


Kata orang disana, perpisahan selalu menuai rasa pedih. Air mata tak terbendung, mengalir begitu saja mengarungi pipi, luapan emosi yang sulit dikeluarkan melalui tuturan. Hanya sesenggukan yang hadir diam-diam ataupun hening yang malu. Kata orang disana, histeris terkadang menyelip dalam perpisahan, rasa tak rela yang menderu juga teriakan yang akhirnya mencekat tenggorokan. Kata orang disana, perpisahan selalu ada tangisan, meskipun dua tetesan. Intinya, kata orang disana, sedih merupakan teman setia dari perpisahan. Bukan hanya kata orang disana, aku telah melewati beberapa perpisahan macam itu. Aku percaya pada kesedihan yang datang tak diundang dalam sebuah perpisahan.

Aku sudah melewati sembilan perpisahan. Perpisahan yang aku alami pertama kali adalah perpisahan dengan isi perut ibuku, kata ibu aku menangis kencang. Iya, aku menangis, benar adanya. Histeris, adalah jenis perpisahanku kali itu. Aku tak kunjung berhenti menangis selama lima belas menit. Perpisahan ke-dua yang kualami adalah perpisahan dengan teman taman kanak-kanak-ku. Tidak ada tangisan disana, yang ada justru perasaan riang gembira. Pernyataan itu aku dapatkan dari fotoku saat sedang perpisahan TK, aku sedang tertawa lepas bersama balon warna-warni dan teman-temanku. Namun, ibuku bercerita bahwa selepasnya aku menangis. Menangis karena sahabatku di TK, Nila, berpindah tempat tinggal ke Jambi. Aku menangis, Nila pun. Kami berdua bertukar boneka. Aku berikan teddy bear-ku, ia memberikan micky mouse-nya. Kejadian itu dirangkum ibuku dalam sebuah foto, fotoku dan Nila sedang memeluk boneka yang telah kami tukar dengan hiasan bekas air mata di pipi, juga mata merah tentunya. Perpisahan ke-tiga, ke-empat, dan ke-lima adalah perpisahan yang sama kasusnya: perpisahan dengan teman menuntut ilmu, teman SD, SMP, dan SMA. Iya aku menangis walaupun tidak histeris. Intinya, aku menangis. Sedih karena harus berpisah dengan rutinitas ala remaja yang sangat menyenangkan dan penuh drama juga romansa. Menangis karena aku sadar, aku akan bertemu dengan suatu kenyataan.

Perpisahan ke-enam, perpisahan super histeris yang pernah aku alami. Aku kehilangan kakak kandungku, kakak tersayangku, Aldi. Ia tewas mengenaskan dilindas truk di jalan menuju rumah selepas bekerja. Aku tak berani memandang jasadnya, yang kudengar dari tetangga adalah "badannya remuk, tak berbentuk, kepalanya pecah, penuh darah". Ah cukup sudah aku menceritakan perpisahan ke-enam ini, perpisahan yang sungguh membekas di hati. Perpisahan dengan lolongan teriakan ibu dan diriku, disusul pingsannya dua  tubuh perempuan ini. Perpisahan ke-tujuh adalah perpisahanku dengan mantan pacarku. Bukan, bukan karena kami mengakhiri hubungan karena hal selingkuh atau pikiran ketidakcocokan. Perpisahan ke-tujuh itu karena ia akan melanjutkan studinya di Hamburg. Untuk selamanya. Pedih rasanya kali itu, namun masih lebih pedih perpisahan ke-enam. Perpisahan ke-delapan adalah perpisahanku dengan kampusku juga teman-teman dan dosen-dosen, ya semua penghuni kampus. Aku menangis, iya memang menangis bahagia. Namun terselip juga tangisan ketakutan berujung pedih, tandanya aku sudah mulai mendekati garis realita: kehidupan. Dengan getir aku memandang gedung kampus, banyak sekali cerita di kampus ini. Cerita menyenangkan juga menyedihkan. Perpisahan ke-sembilan adalah perpisahanku dengan ibu juga bapak. Aku telah menikah, hendak mempunyai kehidupan baru, rumah baru, aroma keluarga baru, kelak buah hati. Tangisan getir selalu menghiasi pipiku dikala hari besar itu, kupandangi wajah ibu dan bapak yang mulai terdapat kerutan. Ia tersenyum manis, senyuman ikhlas merelakan anak perempuannya diambil lelaki. Kuingat, ibu kemudian menangis dan memelukku, erat sekali. Sedangkan bapak hanya mengusap-usap rambutku juga menepuk pundakku. Aku tak bisa membendung luapan emosi itu, terngiang kenangan mereka membesarkanku, mengajariku segala hal, dan menjagaku dengan hangat.

Buat apa aku bercerita tentang perpisahan? Karena hari ini aku akan menyelenggarakan perpisahan ke-sepuluh. Persetan perpisahan pedih, sedih, histeris, atau apapun itu dengan embel-embel sedih. Aku tak lagi berpegang teguh pada pernyataan itu, semuanya luntur ketika aku menghadapi perpisahan ke-sepuluh ini. Perpisahan kali ini justru tidak ada kesedihan. Kebahagiaan dan kelegaan justru menyelimuti jiwaku. Perpisahan ke-sepuluh telah aku tunggu dari tiga bulan yang lalu. Orang macam apa yang menunggu perpisahan? Orang yang bernasib sepertiku saat ini. Perpisahan ke-sepuluh, perpisahan dengan Batara, suamiku. Tak ada tangisan pedih maupun jeritan histeris. Kelegaan dan kebahagiaan berpihak padaku, tatkala aku tak kuat menanggung beban hidup yang pahit, tak sanggup menampung hardik dan kecaman, tak kuasa menahan sakitnya punggung yang makin memerah. Tidak ada yang perlu dipertahankan maupun diperbaiki mengenai jalan kesederhanaan menuju perpisahan ini. Memang tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, tetapi..... sumpah aku lelah. Namun, di perpisahan ke-sepuluh ini aku melepas lelah tersebut. Perpisahan yang paling berbeda seumur hidupku. Perpisahan ke-sepuluh, perpisahan yang penuh kebahagiaan.



"Lets rejoice in where theres love. Simple life was not for us. It never was, this could kill me." (Amy Stroup)


Lantunan kelana:
Amy Stroup - This Could Kill Me

No comments:

Post a Comment