9/9/12

Repertoar Gandamayu: Kesetiaan dan Perempuan

 

Rabu, 5 September kemarin saya menghadiri sebuah teater bertajuk Repertoar Gandamayu di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Repertoar Gandamayu adalah teater gelaran dari Arcana Foundation juga Djarum Apresiasi Budaya yang diadaptasi dari novel Gandamayu karangan Putu Fajar Arcana (ditulis tahun 2007 namun baru diterbitkan tahun ini). Repertoar Gandamayu mengisahkan mitologi Sudamala yang menghadirkan aspek nyanyian, kisah, dan lakon juga mengadopsi unsur seni pertunjukan di dalamnya. Seperti dipadukan dengan tarian, nyanyian, musik, tata cahaya, dan instalasi seni dengan metode paling lengkap. Repertoar Gandamayu ini berjalan sukses dengan orang-orang hebat dibaliknya seperti Gunawan Maryanto (sutradara dan penulis naskah), Yudi Ahmad Tajudin (sutradara dan direktur artisitik), Arsita (pemeran anak), Landung Simatupang (pemeran Semar), Rachel Saraswati (pemeran Uma), Ina Febriyanti (pemeran Durga), Ayu Laksmi (pemeran Kalika), Whanny Darmawan (pemeran Siwa dan gembala), Harbani Setyowati (pemeran Kunti), Theodorus Christianto (Sahadewa), penari-penari yaitu Rendra Bagus, Tomomi, M. Nur Qomaruddin, Dewi Galuh, Hendro Yuliyanto, Verry Handayani dilatih oleh koreogri Danang Pamungkas juga Risky Summerbee dan Yennu Ariendra sebagai penata musik.



Mengutip dari booklet Repertoar Gandamayu, Semar mengisahkan mitologi Gandamayu pada anaknya dalam perjalanan menuju Desa Kaliakah, Bali yang kebetulan hari itu Semar diundang untuk menembang kisah Sudamala. Kisah itu menceritakan kegentingan Durga di Setra Gandamayu yang tidak kunjung diruwat kembali sebagai Dewi Uma, wujudnya semula. Kunti, ibu para kstaria Pandawa datang kepadanya untuk memohon agar dua raksasa, Kalantaka dan Kalanjaya yang membela Korawa dikalahkan supaya Pandawa tetap utuh. Durga bersedia membantu Kunti asal ia menyerahkan putra bungusnya, Sahadewa, sebagai tumbal di Setra Gandamayu. Namun, Kunti tidak setuju, akhirnya ia meninggalkan Setra Gandamayu. Kalika, raksasa abadi yang menemani Durga kemudian merasuki tubuh Kunti dan membawa Sahadewa ke Setra Gandamayu untuk dijadikan tumbal yang lebih lenjut dituntut untuk meruwat Durga. Uma dijadikan raksasa menyeramkan bernama Durga karena ia dinilai tidak setia oleh suaminya, Dewa Siwa, karena telah bersedia bersetubuh dengan gembala demi mendapatkan susu sapi putih untuk Siwa yang sedang sakit. Tak disangka, gembala tersebut adalah Siwa, yang memang berniat menguji kesetiaan Uma. Sahadewa hanyalah ksatria biasa yang tak tahu cara meruwat, tetapi pada akhirnya Siwa turun dari kayangan dan merasuki tubuh Sahadewa untuk meruwat Durga kembali menjad Uma.
  


Gandamayu menceritakan tentang perempuan. "Perempuan, Ibu Sejati Langit dan Bumi", begitulah tajuknya. Panggung GKJ malam itu dihiasi oleh daun-daun cokelat kering yang berserakan, sebuah ranjang pasien lengkap dengan infusnya, tembok dengan kayu yang seolah-olah menopangnya di bagian kiri. Menyeramkan dan mencekam. Beberapa hal yang saya dapatkan dari teater ini adalah tentang kesetiaan, hukuman, juga ruwat. Apalah arti kesetiaan sebenarnya? Dewi Uma sangat mencintai Dewa Siwa, maka ia rela menyerahkan tubuhnya kepada gembala demi mendapatkan susu sapi putih untuk kesembuhan Siwa, maka Uma pun dihukum menjadi raksasa yang menyeramkan dan ditempatkan di Setra Gandamayu. Sebuah kesetiaan yang tertutupi. Namun, Siwa menyadari bahwa Uma sejatinya telah menunjukan kesetiaannya dan turun dari kayangan untuk meruwat Durga menjadi Uma. Ruwat mempunyai arti pemulihan kembali ke keadaan semula. Mengutip kembali dari booklet Repertoar Gandamayu, dikatakan dalam kebudayaan Jawa ada permainan kata Ruwet-Ruwat-Rawat. Kenyataan yang ruwet mesti diruwat untuk kemudian dirawat hingga suatu saat mau tak mau bergerak dan bergeser lagi ke dalam ruwet. Sebuah benda yang terlihat tidak asing dan keberadaannya sehari-hari terlihat di tengah manusia, berdiri kokoh di panggung GKJ. Benda tersebut adalah ranjang pasien lengkap dengan infusnya. Ranjang tersebut merupakan sebuah simbol dalam artian sakit, sakit yang mesti disembuhkan, mesti diruwat. Bunga-bunga cantik  tumbuh dari atas dan bawah panggung dikala Durga sudah diruwat menjadi Uma, Setra Gandamayu tidak menyeramkan dan bau bangkai lagi, berubah menjadi harum dan asri. Proses ruwatan disimbolkan dengan mengganti baju juga membasuhkan air ke tubuh dan tangan para pemeran. Tata musik yang megah, tata cahaya yang mengagumkan, instalasi yang menarik, juga koreografi yang memukau dan gestur yang apik. Sebuah repertoar sederhana tetapi megah. Sebuah repertoar yang mengajarkan dan melestarikan nilai-nilai kemanusiaan ditengah tradisi kita, terutama tentang kesetiaan dan perempuan. Mengutip kalimat yang Durga ucapkan, "Tak seharusnya kesetiaan perempuan diuji, sebab hanya waktu yang bisa melakukannya".


"Diciptakan alam pria dan wanita, dua makhluk dalam asuhan dewata. Ditakdirkan bahwa pria berkuasa, adapun wanita lemah lembut manja." (White Shoes and the Couples Company)


Lantunan kelana:
White Shoes and the Couples Company - Sabda Alam


No comments:

Post a Comment