9/22/12

Pameran Seni Ukir Kamoro: Memudarnya Tradisi Mengukir


Pameran "Kamoro: Tinggalan Budaya Maramowe" yang digelar di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia tanggal  10 sampai 15 September menghadirkan berbagai macam ukiran, foto, dan instalasi lainnya khas suku Kamoro. Pameran ini dimaksudkan untuk mengenalkan ke khalayak luas bahwa ada tradisi beserta seni ukiran di Kamoro, Papua yang sempat mengalami penurunan. Pernyataan itu saya lansir dari diskusi “Seni Ukir Suku Kamoro” yang dibawakan oleh Kal Muller (peneliti asal Hungaria berwargekenegaraan Amerika yang sudah menghabiskan waktu empat belas tahun di Papua) juga Herman perwakilan dari orang Kamoro, terhelat pada Rabu 12 September di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia lantai lima.



Suku Kamoro adalah salah satu suku yang berada di Papua, tepatnya di wilayah pesisir pantai Kabupaten Mimika Agats sampai Jita. Suku Kamoro terkenal pandai berburu dan juga terkenal akan ukiran, nyanyian, topeng-topeng roh dan tariannya. Maramowe adalah sebutan bagi pengukir suku Kamoro. Tidak sembarang orang bisa menjadi maramowe, karena maramowe ditentukan dari garis keturunan berdasarkan nenek moyang mereka yang biasanya berwujudkan binatang.  Jenis-jenis ukiran suku Kamoro diantaranya adalah yamate (perisai), wemawe (patung orang), po (dayung), paru (mangkuk sagu), eme (gendang), dan mbitoro (totem leluhur). Setiap garis keturunan maramowe memiliki motif khas ukiran masing-masing yang tidak boleh ditiru oleh garis keturunan lain. Untuk motif biasanya berhubungan dengan alam, bisa saja seperti ikan, kangguru, naga, ular, merujuk pada wujud nenek moyang mereka. Seni ukir Kamoro memiliki karakter  yang sangat kuat. Biasanya mereka membuat pahatan patung untuk keperluan upacara adat  istiadat. Salah satu pahatan dari suku Kamoro adalah Mbitoro yaitu pahatan yang dibuat dengan ukuran tinggi dan hanya dibuat untuk upacara adat karena di dalam pahatan tersebut akan diisi dengan roh leluhur dari suku Kamoro. Kemudian, ada Yamate yang menggambarkan roh halus yang dipanggil saat upacara adat, serta pekoro yang merupakan barang multi fungsi karena bisa dijadikan bantal dan piring mereka untuk makan.


Dalam perjalanannya, seni ukir masyarakat Kamoro mengalami pasang surut. Ukiran Kamoro ada sedikit sekali, tahun 1950-an sampai 1970-an, Freeport kemudian datang ke Papua pada tahun 1967, banyak turis yang membeli ukiran-ukiran suku Kamoro. Harga ukiran tersebut tergantung kualitas. Ukiran Kamoro hampir punah karena tidak ada pasar yang memfasilitasi penjualan ukiran mereka. Di samping itu, harga yang ditawarkan oleh calon pembeli termasuk rendah. Suku Kamoro berpikir buat apa membuat ukiran dengan kualitas yang bagus namun dihargai rendah. Sekarang, ukiran Kamoro sudah mulai bagus kualitasnya karena terdapat pasar yang memfasilitasi. Kal Muller bercerita pada awalnya ia membeli ukiran Kamoro seharga Rp 50.000,00 dan ia menjual ke luar wilayah Kamoro dengan harga sekitar Rp 200.000,00. Hasil penjualan itu kemudian dibagi ke pengukir yang ukirannya laku. Kal Muller membuat maramowe kembali produktif dan mulai mengenalkan ukiran khas Kamoro pada khalayak luas. 


Herman merupakan pengukir termuda di suku Kamoro. Ia bercerita bahwa masyarakat Kamoro hidup dengan sangat sederhana. Mereka menganut prinsip hidup dengan 3S, yaitu Sampan, Sungai, dan Sagu. 3S ini menjadi tumpuan dalam mencari nafkah agar bisa menghidupi keluarga. Sebelum agama masuk, mereka menyembah patung yang diyakini di dalam patung tersebut ada roh nenek moyang mereka. Namun, setelah agama masuk, mereka mulai meninggalkan penyembahan terhadap berhala. Dahulu, masyarakat Kamoro yang membuat ukiran hanya dua orang karena mereka yang meninggalkan pekerjaan ukiran tersebut berpikir tidak ada gunanya membuat ukiran karena jarang yang membeli.

Dalam diskusi kali itu, dicontohkan dua patung wemawe. Setiap bagian pada ukiran tersebut memiliki makna. Tanda menyilang di samping patung pada sisi kanan dan kiri merupakan aplikasi dari pusar. Sedangkan bagian belakang bernama Tawakiro yang merupakan aplikasi dari gigi ikan paus. Mengapa gigi ikan paus? Karena mereka menganggap erkawe atau moyangnya adalah ikan. Kemudian pada bagian atas patung merupakan aplikasi dari kepala suku. Yang kedua adalah berwujudkan kangguru. Di hutan Papua, kangguru, kuskus, anoa, dan babi adalah binatang yang jumlahnya melimpah. Berbentuk kangguru karena sebagian masyarakat Kamoro percaya bahwa moyangnya adalah kangguru. Hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kebanyakan dari mereka, meganggap nenek moyangnya berasal dari binatang.


Dalam diskusi tersebut juga disajikan satu film pendek mengenai pembuatan biro, salah satu patung ukir khas Kamoro. Pembuatan patung tersebut dilakukan di desa yang tertutup oleh para laki-laki yang memang terpilih untuk membuatnya, anak kecil dan perempuan tidak diperbolehkan untuk melihat pembuatannya. Biro digunakan untuk upacara inisiasi. Terdapat bentuk manusia di bagian batangnya, ini merupakan pengaplikasian terhadap orang-orang Kamoro yang sudah meninggal (yang kemudian diyakini saat upacara terdapat roh yang merasukinya). Pembuatan biro masih menggunakan bahan-bahan dan alat-alat sesuai adat istiadat mereka. Namun, tak jarang juga ditemukan improvisasi yang lebih modern dalam pembuatannya. Contohnya adalah arang yang terdapat pada baterai ABC (baterai yang sering ditemukan dalam wilayah Papua) untuk proses pelekatan yang dahulunya menggunakan darah. Palu peninggalan pun menjadi salah satu alat yang masih digunakan untuk pembuatan biro, namun terjadi improvisasi dimana palu tersebut tetap dipahat oleh kayu sisa. Moluska atau kerang yang sudah dibakar selama satu jam, kulitnya kemudian digerus dan dijadikan cat berwarna putih untuk memoles patung. Motif-motof yang digunakan dalam biro adalah gambar binatang seperti biawak, ular, burung enggan yang merupakan pengaplikasian dari leluhurnya. Pembuatan biro ini menghasilkan sebuah ukiran kesederhanaan yang anggun dan garis-garis yang seimbang bila ditinjau dari segi seni. Hasil ketukan pada setiap ukiran merupakan spontanitas. Pengerjaan pembuatan Biro yang memakan waktu dua hari ini juga menghasilkan motif-motif rumit yang berisikan puisi alam semesta yang mengelilinginya. Pola-pola dasar harus mengikuti adat, namun tak menutup sebuah improvisasi pada pembuatannya. Cat yang digunakanpun masih diambil dari alam seperti dari kulit pohon kakao, akar-akar pohon, buah, dan daun. Namun, seiring berjalannya waktu, ada beberapa ukiran yang sudah dipoles dengan cat-cat yang dibeli di toko bangunan. Biro kemudian diarak dalam perayaan Karapao dan diperlihatkan oleh seluruh masyarakat Kamoro.



Penyebab memudarnya tradisi mengukir di Kamoro bukan hanya karena tidak ada pasar yang memfasilitasi hasil kerjainan mereka, namun juga hasil alam seperti batang pohon sawit yang besar mulai langka. Di samping itu tak semua pemuda Kamoro mempunyai garis keturunan maramowe, ada juga yang mempunyai garis keturunan menjadi maramowe namun ia tak mewarisi tradisi tersebut dikarenakan lebih memilih pekerjaan yang dianggapnya lebih "pasti" dalam hal pengerjaan dan pendapatan. Pada akhir diskusi, Kal Muller menghimbau agar masyarakat Indonesia peduli pada seni ukir Kamoro. Kal Muller dengan dibantu Freeport telah berhasil mengadakan pameran seni ukir Kamoro di Bali, Bentara Budaya Jakarta, dan terakhir di Universitas Indonesia demi memperlihatkan salah satu kekayaan budaya Indonesia yaitu seni ukir Kamoro. Diharapkan tidak hanya turis asing yang membeli ukiran ini, namun turis lokal juga turut membeli agar seni ukir Kamoro ini tidak punah.


No comments:

Post a Comment