8/6/12

Bukit Matahari

 

Rasa penasaranku makin menjadi-jadi ketika Arki selalu hilang di jam lima sore. Kelas demi kelas aku cari sosok Arki sampai aku menanyakan teman-temannya karena dihubungi melalui telepon genggam, tak diangkat. Arki selalu hilang jam lima sore dan kembali jam setengah tujuh malam, di kantin kampus kami. Hari ini aku mempunyai suatu misi yaitu membongkar misteri Arki hilang di jam lima sore. Masalahnya, rapat redaksi majalah kampus mulai jam empat sore. Itu berarti Arki tidak akan mengikuti rapat ini. Aku Rhesa, mahasiswa Sastra Jerman yang tergabung di UKM majalah kampus bersama Arki, mahasiswi sastra Inggris. Arki, si perempuan mungil yang selalu hilang di jam lima sore. Aku sengaja tidak mengikuti kuliah Sprache sore ini demi menguntit Arki. Ku lihat dari jendela kelas, Arki duduk dengan pandangan ke buku kecil di depannya. Masih jam setengah empat. Setengah jam lagi kelas ini usai.

Arki! teriakku karena Arki langsung berlari ke arah gerbang kampus.

Arki! Arki! Hei! Tunggu, Ki! teriakku lagi, tetap tak digubris.

Sia-sia aku berteriak, akhirnya aku hanya mengejar sosok Arki yang berlari keluar kampus. Kemudian ia belok ke arah perumahan elit, lapangan luas, perkampungan, sampai di hamparan rumput yang sangat luas.

Kamu ngapain ngikutin aku? Akhirnya ia berhenti di hamparan rumput dan menghadap ke arahku,

Karena kamu selalu hilang setiap jam lima, hari ini kan kita ada rapat. Kamu harus dateng Ki, kamu kan penulis yang disukai anak-anak kampus sampai dosen sekalipun.

Aku kan udah bilang dari awal aku direkut jadi penulis, jika ada kegiatan di sore hari, aku nggak bisa ikut.

Kenapa memangnya? Aku bertanya sambil mengingat potongan adegan tiga bulan yang lalu dimana para anggota kepengurusan majalah kampusku memberikan informasi tentang diri mereka masing-masing.

Aku harus ke bukit matahari, aku harus mengejar matahari.

Bukit matahari?

Lalu, Arki berjalan pelan ke arah barat dengan tak menjawab pertanyaanku. Setelah melewati hutan kecil, aku melihat ada sebuah bukit di depanku. Oh ini, yang namanya bukit matahari. Aku baru tahu di sekitar sini ada bukit. Bukit yang kulihat hanya berisikan rumput-rumput liar tak beraturan. Kupu-kupu, capung, lebah turut menemani diriku dan Arki. Matahari bertengger dengan hangat di atas sana menyapa kedatangan kami. Kemudian, Arki duduk di puncak bukit yang mana di bawahnya terdapat sungai kecil serta bebatuan dan juga sebuah jembatan usang.

Jadi, ini namanya bukit matahari?

Iya, aku menyebutnya bukit matahari.

Oh, nama dari kamu? Kenapa namanya bukit matahari?

Karena disini aku bisa bertemu matahari. Matahari senja.

Terus keperluan kamu setiap sore di bukit ini apa?

Ya bercengkrama dengan matahari.

Aneh.

Hahahaha.

Hari ke hari aku terus mengikuti Arki ke bukit matahari ini. Setiap jam lima sore, kami menghadap ke barat. Menikmati sinar senja yang kemerahan. Kadang Arki membawa dua gelas teh atau kopi hangat. Kadang kami hanya diam berbaring di atas rerumputan, memandangi langit dengan mendengarkan lagu kesukaan kami. Sampai aku dan Arki membuat suatu tantangan yaitu cerita bukit matahari. Lalu, kami wajib bercerita. Tentang apa saja. Kami menggali makna tentang kehidupan. Sudah puluhan cerita bukit matahari yang kami bagi. Kadang terselipkan nasihat, ada rasa haru, senang, sedih, dan lainnya. Tawa dan tangis kami bagi bersama matahari. Sampai suatu saat, lama kelamaan aku tiba terlebih dahulu di bukit matahari.

Loh, kamu kok udah ada disini duluan sih? Tanya Arki dengan heran.

Memang kenapa? Bukit matahari milik siapa aja kan katamu?

Aneh aja, dulu kamu bilang aku aneh, sekarang kamu duluan yang sampai disini.

Aku habis bercengkrama dengan matahari.

Curang! Cerita bukit matahari kan harus dibagi ke aku juga, nggak cuma matahari aja.

Jadi dulu, sebelum ada aku. Kamu juga curang, cerita ke matahari aja.

Itu kan belum ada kamu, jadi cuma aku dan matahari aja yang berbagi cerita. Memang, kamu habis bercengkrama tentang apa sama matahari?

Aku habis bercengkrama tentang matahari kecilku dan matahari senang mendengarkan ceritaku ini.

Oh ya?

Iya, aku telah menemukan matahari kecilku.

Wah, matahari! Kamu punya saingan! Nanti, habis ini kamu ditinggal, soalnya dia udah punya matahari kecil, hahaha. Memang, dimana letak matahari kecilnya? Kamu sekarang punya matahari sendiri dong.

Iya, matahari kecilnya di sampingku. Kamu: matahari kecilku.

Kami berdua duduk menghadap matahari, berpegangan tangan, bercengkrama dengan matahari. Awalnya kegiatan bercengkrama dengan matahari ini menurutku aneh. Lama kelamaan, berbagi dengan matahari terasa sangat menyenangkan. Ditambah dengan cerita bukit matahari, aku mendapat banyak pelajaran kehidupan. Arki adalah sosok yang berbeda, ia selalu punya kejutan untukku dan aku selalu suka kejutan itu. Saat aku bertanya mengapa Arki suka bercengkrama dengan matahari, ia menjawab: aku suka sinarnya yang hangat, warnanya yang membuat langit kemerahan, dan kesetiaannya mendengarkan cengkrama dariku. Dia selalu menyinari senja-senjaku. Dia memberi kehangatan dan menyinarkan kebahagiaan jika aku sedih. Dia bermain warna saat aku bosan. Namaku Arki, artinya matahari, bahasa Sanskrit dari kata Arka. Senja hari itu terasa lebih hangat, lebih merah. Aku yakin matahari sedang mengadakan selebrasi deklarasi matahari kecilku. Aku pegang tangan matahari kecilku dengan erat, hangat. Pipi gembilnya ikut memerah seperti langit senja itu. Senja ke senja, aku punya kegiatan baru: mengejar matahari bersama matahari kecil ke bukit matahari.

Rhesa, nama panjang kamu Rhesa Kala kan?

Iya, kenapa?
Kala artinya matahari dalam bahasa Hawaii.

Jadi, ada tiga matahari di sini: Matahari, Arki, dan Kala. Kamu memang matahari kecilku, hangat dan penuh kejutan.

"Selamanya kita tak akan berhenti mengejar, terus mengejar matahari." (Ari Lasso)

Lantunan kelana:


No comments:

Post a Comment