7/18/12

Dunia Ini Indah


Dunia ini indah ketika Rhesa memencet tuts demi tuts piano, disinari cahaya lampu dari atas, disaksikan ratusan jiwa. Aku, Sisy, seseorang wanita yang mengagumi Rhesa sejak awal aku masuk institusi musik ini. Tangan kekar Rhesa menari-nari di atas kumpulan berwarna hitam putih. Sesekali ia mendongakan kepala dengan mata terpejam, seolah-olah merasuki para jiwa yang sedang menyaksikan dirinya. Hatiku tersihir. Senyum manisnya pun membuat hati ini berdesir. Rhesa, dunia ini indah ketika aku melihatmu di tengah sana.

Dunia ini indah. Begitu kata sampul belakang novel yang sedang kupegang ini. Novel ini terjebak di tumpukan lemari kecil kafe perpustakaan universitasku. Indah. Dunia indah itu seperti apa? Aku kembali menyeruput cokelat panas yang lambat laun mulai berubah dingin. Croissant dengan taburan kismis ini belum kusentuh kembali. Jika Sisy mendeskripsikan dunia indah dengan menyaksikan Rhesa bermain piano, lantas arti dunia indah versi diriku apa? Menyaksikan Farri bermain basket dengan gagahnya? Aku tidak merasakan dunia ini indah ketika Farri bermain basket melawan fakultas sebelah. Sekalipun ia pemain inti yang sangat dibutuhkan karena kaya akan taktik jitunya. Tiba-tiba kalimat "dunia ini indah" menari-nari di ruang pikirku, memaksa bekerja syaraf-syaraf di tubuh ini untuk memecahkan deskripsi dunia indah pada nuraniku, Gianna, yang akrab dipanggil Gigi.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Kar, menurut lo dunia ini indah nggak?" tanyaku di tengah aku dan kelima sahabatku saat makan siang di kantin fakultas.

"Weits! Kenapa lo Gi? Tumben nanya macem beginian, melankolis amat!" Karin justru tak menjawab, malah meledekku dan riuh tawa kecil berdatangan dari mulut Karin, Abe, Lala, dan Dion.

"Enggak, gue lagi kepikiran aja. Dunia indah tuh kayak apa sih"

"Dunia indah itu kayak lo ada di Mahameru. Bergabung barengan awan di atas sana. Puas banget deh! Itu baru dunia indah!" ucap Abe yang merupakan pendaki gunung sejati yang mana Semeru adalah gunung kesukaannya.

"Kalo gue sih ya dunia indah itu ya..... SKRIPSI SELESAI!" ujar Lala yang disambut jitakan Abe.

"Skripsi mulu ah! Capek gue dengernya. Dunia indah itu kalo gue ada di tengah-tengah anak ekonomi, beeeeh ceweknya mantep-mantep! Mau apa aja kompilt, bro!" kali ini Dion, si playboy kelas profesional yang menjawab.

"Ah elu mah cewek mulu! Dunia indah itu ya bagi gue sih punya keluarga yang adem ayem sampai punya sahabat kayak kalian semua gini nih. Rusuh tapi asoy!" Karin akhirnya menjawab.

"Duileh Kar, so sweet banget sih. Abis diracunin apaan lo sama gado-gado Bang Mamat? Ngomong bisa bijak gini" celetuk Dion yang dibarengi cibiran sahabat-sahabatku.

"Nah kalo lo Gi, dunia indah itu kayak apa? Kita kan udah deskripsiin nih dunia indah itu gimana, menurut lo sendiri gimana?" tanya Abe.

"Entahlah, gue masih nggak menemukan dunia indah itu seperti apa. Masih bingung" ucapku jujur. Jawabanku tidak digubris oleh mereka, justru topik serial televisi "New Girl" yang sudah mencapai episode terakhir tiba-tiba menyelip, menggemparkan meja kantin ini.

Pemandangan di atas Semeru memang indah, aku pernah melihat foto-foto Abe via facebook saat ia berlompatan girang di puncak Semeru. Skripsi selesai memang melegakan, aku juga ingin menyelesaikan tugas itu. Soal lelaki? Farri selalu membuatku bahagia, namun bukan itu definisi dunia indah yang aku cari. Karunia keluarga dan sahabat memang tak bisa digantikan. Apa aku egois tidak memasukan daftar dunia indah sahabat-sahabatku ke hati ini? Semua itu memang indah, aku akui. Namun, bukan itu yang aku cari dari deskripsi dunia indah ini. Aku perlu spesifikasi yang jarang tentang dunia indah. Iya, dunia indah versi diriku sendiri. Deskripsi meletup yang mencengangkan hati. Sebut aku aneh tetapi sungguh aku ingin menemukan definisi atas dunia indah yang benar-benar merampas pikiran dan hatiku. Sebuah definisi yang terlahirkan hanya untukku.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gigi sayang, nanti temenin aku ya ke panti di Lenteng Agung. Aku ada misi sosial nih dari himpunan jurusan. Aku jemput ya di parkiran, sebentar kok cuma sampai jam lima. See ya there, Gi :)

Begitu isi SMS dari Farri, pacarku. Farri memang selalu memberikan kejutan di setiap hariku. Waktu bergulir hingga menunjukan angka dua. Aku sedang menunggu di parkiran, menunggu datangnya Farri.

"Hei sayang, belum lama kan nunggunya?" tanya Farri

"Belum kok, eh nanti aku ngapain nih disana?" tanyaku.

"Temenin aja, kamu bisa main sama anak-anak disana. Nanti kita ke panti yang isinya anak tuna netra, rencananya sih aku sama temen-temen mau bikin pertunjukan dongeng terus nyanyi bareng dan makan bareng. Sumbangan udah disiapin kok, ada baju, mainan, buku braille juga CD lagu anak-anak" ucap Farri.

"Hmm gitu, Far, menurut kamu dunia indah itu yang kayak gimana?" tanyaku di tengah lajunya mobil sedan kesayangan Farri ini.

"Hmm, dunia indah itu dunia dimana kita merasa damai. Punya sesuatu yang bisa kita percaya dan bisa kita bantu. Kayak aku punya kamu" ledek Farri.

"Ih kok gombal! Aku serius nih!" ujarku yang disambut tawa Farri.

 

Kami berdua sampai di panti yang sederhana. Panti ini berwujudkan bangunan gaya 60-an dengan jendela besar dan berwarna putih. Teman-teman Farri terlihat disana sedang menangkut beberapa kardus dari mobil ke dalam panti. Saat memasuki ruangan, aku melihat sekitar dua puluh anak tuna netra sedang duduk lesehan beralaskan karpet merah biru usang. Mereka terlihat bahagia, bercengkrama satu sama lain sambil membuat tautan tangan yang seolah-olah berusaha menggapai sesuatu. Dua orang yang kuyakini teman Farri membuka helatan aksi sosial ini, mereka membuka acara dengan bernyanyi bersama. Kulihat sekelilingku, para penjaga panti ikut memeriahkan acara ini. Tapi... aku melihat satu anak perempuan berusia sekitar empat tahun berdiri diam di sudut ruangan, didampingi seorang ibu tua. Aku tergerak untuk menghampirinya.

"Hei adik manis, kok kamu nggak ikutan sama teman-teman kamu sih?" tanya aku.

"Rena memang nggak begitu suka gabung sama teman-temannya, Mbak. Sukanya sendiri aja, main sendiri." Ibu tua yang kuyakini salah satu penjaga panti menjawab.

"Mau main sama kakak, nggak?" tanyaku lagi yang disambut anggukan Rena kecil ini.
Aku memilih taman belakang yang terlihat dari posisiku ini. Ternyata panti ini mempunyai taman yang manis. Di tengah terdapat meja bundar dan enam bangku putih klasik, di sekelilingnya terdapat berbagai macam pohon buah dan bunga yang cantik. Aku pun memilih mengantar Rena duduk di tengah.

"Rena kenapa nggak suka main sama teman-teman?"

"Rena nggak suka ramai kak, ohya nama kakak siapa?"

"Kenalin aku Gigi"

"Gigi? Wah kayak gigi ini nih!" ujarnya riang sambil memegang deretan gigi putihnya yang tak beraturan.

"Rena mau main apa sama kak Gigi?"

"Hm, Rena mau kak Gigi cerita! Rena suka cerita-cerita yang lucu" ujarnya semangat.

"Cerita ya? Oke, aku cerita kisah burung kecil yang dimangsa burung besar ya. Suatu hari burung biru kecil sedang bermain di antara hijaunya pohon-pohon besar...."

"Biru itu apa kak? Hijau itu apa?" tanya Rena polos.

"Biru itu warna, hijau juga" jawabku seadanya.

"Warna? Warna itu apa kak? Kayak gimana? Aku mau pegang dong!" Rena bersemangat sekali.  

Aku tertegun, bagaimana cara menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

"Hijau itu seperti ini Rena" tiba-tiba Ibu tua tadi datang dari arah belakangku, menyodorkan daun berwarna hijau pudar yang mulai kecokelatan di tangan Rena.

"Hijau itu warna, tidak bisa dipegang, hanya bisa dilihat. Ini Ibu bawakan daun yang berwarna hijau, kamu coba pegang daun ini aja ya Rena. Hijau itu warna yang sejuk, bisa menyegarkan orang yang melihatnya. Coba kamu rasakan dan bayangkan wujud hijau ini" jawab Ibu tua tersebut.Aku melirik ke daun yang sekarang tengah dipegang Rena, warnanya tidak hijau menyegarkan. Melainkan hijau kecoklatan. Kering. Daun gugur yang sedang berbaring di rumput taman ini.

"Oh seperti ini ya Bu. Wah, jadi hijau itu pasti menyenangkan. Abisnya orang-orang bisa jadi segar kalo ngeliat, nggak usah mandi kalo gitu Bu, cukup liat hijau aja! Kalau aku mah, cukup pegang daun aja kalo lagi males mandi, hihihi" ujar Rena cekikian.

"Loh nggak gitu juga toh ndok, kamu ini ya usil!" ucap Ibu tua yang ikut tertawa sambil mencubit kecil pipi gembil anak manis ini.

 

Sepulang dari panti tersebut, aku merenung di dalam mobil Farri yang sedang melaju santai ke arah pusat kota di kala senja. Gedung-gedung bertubuh tinggi menyambut kami dengan sinar emas yang syahdu. Rena dari lahir udah buta Mbak, ya jadi dia nggak tau bener-bener dunia ini kayak apa. Umurnya juga masih empat tahun, belum belajar banyak hal disini. Maaf ya Mbak tadi jadi bingung mau jawab pertanyaan Rena kayak gimana. Kalo Rena nanya sesuatu itu kayak gimana, kasih contoh kecil saja, suruh pegang. Dia pasti senang. Ibu disini juga belajar menjawab pertanyaan-pertanyaan Rena, pakai taktik yang sederhana saja. Ucapan Ibu tua itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Rena sangat polos. Kasihan. Dia tidak bisa melihat indahnya dunia ini seperti apa. Eh... tunggu! Barusan aku bicara apa? Indahnya dunia ini ya? Secara tak sadar aku mengucapkan kata dunia dan indah, pencarian definisi dunia indah seharian ini telah kutemukan. Dunia ini indah ketika aku bisa melihat hijau, biru, merah, kuning, dan lain-lainnya. Dunia ini indah ketika aku bisa melihat dunia ini sendiri tanpa harus meraba dan menerka-nerkanya terlebih dahulu, tanpa harus mendapatkan jabaran dari orang terlebih dahulu, tanpa harus dikelabui. Hal tak terduga seperti ini pun akhirnya aku temukan. Terima kasih, Rena. Aku telah mendapatkan definisi dunia ini indah menurutku, dunia ini indah ketika aku bisa melihat dengan jelas dunia ini seperti apa dan merasakannya dengan indah.

"Farri, mau tau nggak definisi dunia ini indah menurut aku apa?" tanyaku

"Apa, Gigi sayang?" tanya Farri manja dengan tetap berkonsentrasi pada kemudi senjanya.

"Tadi aku ketemu anak kecil yang nggak mau gabung sama kalian, namanya Rena........"
Aku bercerita semangat kepada Farri tanpa jeda. Ditengah kemudi senja ini. Ditengah lantunan "Beautiful World" milik Coldplay dari radio ibu kota. Di tengah pandanganku melihat dunia ini, melihat hamparan gedung tinggi, mobil dan motor berbaris tak beraturan yang sedang mematuhi sebuah lampu merah, meskipun di balik kaca sedan. Dunia ini memang indah. Butuh proses pembelajaran untuk tahu hal sederhana dari interaksi sederhana. Hei dunia indah, aku sedang melihatmu.

"And we live in a beautiful world, yeah we do yeah we do." (Coldplay - Beautiful World)

Lantunan kelana:

No comments:

Post a Comment