Di tengah derap langkah yang melaju cepat
Di tengah riuh bunyi terompet yang berlomba-lomba memiliki suara terkencang
Aku dan dirinya menyaksikan mereka semua dari sini
Dari dua bangku kios nasi goreng pinggir jalan
Terkadang kita harus menyikapi kesenangan dengan tidak terlalu bersenang-senang, katanya
Itu alasan mengapa aku dan dirinya justru duduk di hadapan teko dan gelas-gelas
Malam itu aku kembali pulang
Dari sebuah ketenangan yang kemudian menjadi kebimbangan
Karena dengan dirinya selalu muncul gelembung bernama renungan
Yang kemudian akan didekap
Erat, tetapi tidak sampai meletus
Dan segalanya akan berubah detik itu juga, pada waktu itu
Setiap harinya kita membuat sebuah naskah, katanya
Luncuran harapan bahagia pasti tercantum di dalamnya
Namun hanya ada: aku, aku, aku, dan aku
Kemudian, ke mana yang lain?
Setiap harinya kita berusaha berbaur, katanya
Topeng warna-warni pasti sudah disiapkan dari jauh hari, disini dan disini
Ia menunjuk wajah dan dadanya
Namun, topeng tersebut hanya peduli pada: bagaimana penampilanku, rupaku, rautku
Kemudian, ke mana yang lain?
Setiap harinya kita jatuh, katanya
Kita sadar bahwa kita sama
Kita sadar bahwa kita akan jatuh lagi
Entah mengapa kita terus jatuh
Mungkin biar seru
Ada suatu waktu di mana kita akan sadar
Namun, beberapa saat akan terlena kembali
Konon salah satu rumusnya adalah berpegangan
Biar tidak hanya aku, aku, aku, dan aku
Sebenarnya, jawaban tersebut sederhana bukan?
Namun ego yang tidak bisa rehat
Ia akan terus di atas sederhana
Menggeliat bagai ketukan drum yang repetetif
Kemudian ia bertanya: bolehkah aku genggam?
Jawabannya sederhana, sebuah senyuman
Selalu senyuman yang hadir jika bercengkrama denganmu, meskipun di kios nasi goreng pinggir jalan saat menunggu bergantinya tahun. Terima kasih telah menanggapi arus yang begitu deras, sekarang sudah tenang :)
Lantunan kelana:
No comments:
Post a Comment