Belakangan ini, yang ku ingat saat mencari setitik cahaya di ujung ruangan tiap pagi adalah kata-katanya. Kegiatan mengerjapkan mata yang disusul melayangkan tangan kanan ke bawah bantal untuk mengambil ponsel bukanlah selera pagiku lagi. Menarik nafas yang dalam dan menghembuskannya dengan sangat beratlah yang entah mengapa hinggap di ritual pagiku, tentunya dengan masih dibungkus selimut. Udara yang dingin karena pendingin ruangan dengan selimut super tebal adalah komposisi yang sangat indah untuk pagi hari. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dengan berbagai memori yang memenuhi pikiran ini tiap paginya terkadang menjadi sebuah renungan. Pagi dan renungan. Tipikal.
Teringat saat ia duduk dengan angkuh di sebuah bangku taman sambil menghisap kretek, kemudian meluncurlah ucapan tersebut. "Belum saatnya kau jatuh," ujarnya. Pandangannya tidak berubah sekalipun, tetap mengarah ke depan, entah apa yang ia lihat. Yang aku tahu, terselip perintah sekaligus permohonan di ucapan tesebut. Aku tak menanggapinya, begitupula dengannya, tak bicara sepatah katapun lagi. Apakah kita harus meneruskan permainan macam ini?
Ketika hidup seputar menjaga perasaan orang-orang....
"Belum saatnya kau jatuh."
Sial, kalimat tersebut mengetuk kembali.
"Sementara, teduhlah hatiku. Tidak lagi jauh. Belum saatnya kau jatuh" (Float - Sementara)
Lantunan kelana
No comments:
Post a Comment