Sore itu aku berjalan dengan sangat pelan-pelan untuk menyapa debur ombak. Dendangnya kali itu tak beraturan, sepertinya ada beberapa arus air yang membentur tak karuan di tengah sana. Menghasilkan irama yang kurang nikmat. Lantas kududuk pada sebuah gundukan semen, merogoh saku kemejaku dan mengambil sebuah benda yang memberi kenikmatan. Rokok pipa gading gajah. Rokok pipa ini menuai banyak cerita, yang jelas pemberian salah satu anggota keluargaku terdahulu, konon namanya Sutarno. Rokok pipa gading gajah ini kemudian menjadi salah satu tradisi, diturunkan ke anak hingga cicit dengan suatu cerita. Sore itu aku akan mengulang sebuah kisah pahit, tetapi oleh salah satu tokoh kebanggaan Marxisme, siapa lagi jikalau bukan Karl Marx, mendefinisikan ini adalah peristiwa yang manis. Entahlah yang aku tuturkan ini sudah mendapat gubahan dari keluargaku sebelumnya atau tidak, namun kuyakin sebuah fakta terselip di cerita ini. Fakta yang pahit sekaligus manis.
Sari adalah seorang gadis Banyuwangi yang manis, julukan kembang desa bisa diberikan padanya. Sutarno, seorang pemuda desa yang tubuhnya agak kekar jatuh hati padanya. Setiap petang pasti Sutarno mengendarakan sepeda tuanya untuk sekedar melihat ke halaman rumah Sari, disitu Sari sedang menyapu halaman dengan anggunnya. Beberapa kali Sutarno hanya lewat di muka dengan keheningan, namun kecepatan sepeda dilambatkan. Ya, demi melihat raut ayu dari Sari dengan seksama. Terkadang mata mereka bertemu, kemudian senyum tipis tercurahkan dari keduanya. Hening yang manis. Untuk kesekian petang berikutnya, Sutarno tak menemukan Sari di perkarangan. Sendu kemudian datang tak diundang ke muka Sutarno. Sial sekali hari itu aku rupanya, ucap Sutarno dalam hati. Namun 200 meter dari perkarangan rumah Sari, di sebuah tikungan kedua, Sutarno melihat Sari berjalan seorang diri dengan mengenggam bungkusan daun pisang berisi dua ikan segar. Entah sengatan apa yang kali itu hadir pada jiwa Sutarno, dengan kilat ia mengucapkan sekelumit "Arep numpak sepedaku?" yang dijawab dengan senyum simpul Sari. Petang itu tak jadi petang yang sial untuk Sutarno. Sari telah duduk dengan manis di belakang Sutarno. Nyiur bergoyang dengan apik melihat kedua insan tersebut, seperti hendak berdansa melakukan selebrasi. Awal Sutarno dan Sari saling mengeluarkan kata-kata dan selanjutnya petualangan manis dimulai. Mereka berdua jatuh hati.
Sepeda berkulitkan hitam mengelupas menjadi saksi hati mereka berbunga-bunga, begitupula dengan dendang ombak di pantai ujung desa ini. Duduk manis dengan saling menuai senyuman merupakan agenda menyapa angin pantai kala petang. Sari senang menembangkan suatu kisah, terutama kidung tentang Sri Tanjung yang kemudian menjadi kidung kesukaan Sutarno. Selain cerita dibalik kidung Sri Tanjung, belaian suara Sari membuat hati Sutarno meledak-ledak. Sebuah kisah tentang kejujuran yang terbakar cemburu. Sri Tanjung dibunuh oleh Sidapaksa, suaminya, yang sedang terbakar cemburu dan termakan dusta dari Raja Sulakrama. Sulakrama hendak memperkosa Sri Tanjung dan memulainya dengan pelukan, ternyata Sidapaksa melihat aksi Sulakrama, naik pitam lah ia. Sulakrama justru menuduh Sri Tanjung adalah wanita penggoda, sedihlah Sri Tanjung dituduh dengan suatu pernyataan hina, apalagi Sidapaksa percaya dengan buaian dusta Sulakrama. Dengan penuh permohonan yang tulus, akhirnya Sri Tanjung berkata jika sampai Sidapaksa membunuhnya, jika yang keluar dari tubuhnya adalah darah maka benar ia adalah wanita penggoda. Jika yang keluar adalah air yang harum, maka benar ia tak hina, Sulakrama lah yang merupakan sosok jahat. Keluarlah air yang sangat wangi, menyesal Sidapaksa. Dengan penuh penyesalan sekaligus penghormatan pada kejujuran Sri Tanjung, ia menamai daerah tersebut menjadi Banyuwangi. Daerah yang sedang dipijak oleh Sari dan Sutarno menorehkan sejarah yang pahit sekaligus manis. Pahit akan fitnah dan manis akan pengorbanan Sri Tanjung.
Puluhan petang di pantai sudah terlewatkan, petang ke dua puluh delapan, sendu menyelinap di raut wajah dan hati Sari. Tiba-tiba Sutarno menghilang. Tak ada senyum yang hadir dalam sosok kekar tersebut, tak ada lagi yang mendengarkan kidung Sri Tanjung, tidak ada lagi yang duduk di kemudi sepeda, tidak ada lagi jiwa yang mententramkan hati Sari. Kesal dibuatnya, Sari mengutuk kepergian Sutarno. Dua belas hari sudah tak ada yang menyinari harinya, suatu kabar menggegerkan hatinya. Sutarno telah diculik, bukan Sutarno saja, ternyata pemuda lainnya juga. Sebuah penculikan yang konon pedih, diculik untuk diperdagangkan, diperas, dihina, dan diperlakukan semena-mena oleh pihak Belanda. Ya, menjadi budak. Sekarang kidung Sri Tanjung memecahkan kesunyian di pantai ini, berpadu dengan dendang ombak dan suatu kenangan manis. Seorang diri, Sari mengendarai sepeda ke ujung desa, menyanyikan kidung Sri Tanjung, dan diam-diam melepas rindu dengan sunyi.
Bagaimana kisah yang kudapatkan secara turun menurun ini? Pahit bukan? Aku kembali menghisap kenikmatan dunia dari rokok pipa gading gajah ini, kemudian menghempaskan asapnya. Betapa manisnya kisah dua jiwa tersebut, menyapa angin laut diiringi kidung lembut dari kembang desa. Betapa beruntungnya Sutarno mendapatkan belaian suara emas dari kembang desa, tetapi betapa malangnya kala ia ditelan bumi. Kemudian aku membayangkan Belanda tertawa dengan manis diatas kisah cinta Sari dan Sutarno, lalu aku membayangkan diri mereka meniru tuturan Karl Marx: Perdagangan yang manis nian!
{"Sejarah administrasi koloni Belanda abad ke-17 adalah salah satu sistem
pengkhianatan, penyuapan, pembantaian, dan kekejaman yang paling hebat.
Tidak ada yang lebih karakteristik daripada sistem penculikan mereka,
guna mendapatkan budak-budak dari Jawa. Para penculik dilatih untuk ini.
Sang pencuri, penerjemah, dan penjual, adalah agen-agen utama dalam
perdagangan ini, sang pangeran-pangeran pribumi sebagai penjual utama.
Orang-orang muda diculik, dijebloskan ke penjara-penjara rahasia di
Sulawesi, sampai mereka siap untuk dikirim ke kapal-kapal budak. Dimanapun mereka memijakkan kaki, kehancuran dan penyusutan penduduk
menyusul. Banyuwangi, sebuah propinsi di Jawa, pada tahun 1750
berpenduduk lebih dari 80.000 orang, pada tahun 1811 hanya tinggal
18.000. Perdagangan yang manis!”}
Referensi: Karl Marx, Capital 1 (Moscow: Progress Publishers) dan Cerita Rakyat Banyuwangi.
No comments:
Post a Comment