Pameran "Kamoro: Tinggalan Budaya Maramowe" yang digelar di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia tanggal 10 sampai 15 September menghadirkan berbagai macam ukiran, foto, dan instalasi lainnya khas suku Kamoro. Pameran ini dimaksudkan untuk mengenalkan ke khalayak luas bahwa ada tradisi beserta seni ukiran di Kamoro, Papua yang sempat mengalami penurunan. Pernyataan itu saya lansir dari diskusi “Seni Ukir Suku Kamoro” yang dibawakan oleh Kal Muller (peneliti asal Hungaria berwargekenegaraan Amerika yang sudah menghabiskan waktu empat belas tahun di Papua) juga Herman perwakilan dari orang Kamoro, terhelat pada Rabu 12 September di Perpustakaan Pusat Universitas
Suku Kamoro adalah
salah satu suku yang berada di Papua,
tepatnya di wilayah pesisir pantai Kabupaten Mimika Agats sampai Jita. Suku Kamoro
terkenal pandai berburu dan juga terkenal akan ukiran, nyanyian, topeng-topeng roh dan tariannya. Maramowe adalah sebutan
bagi pengukir suku Kamoro. Tidak sembarang orang bisa menjadi maramowe, karena
maramowe ditentukan dari garis keturunan berdasarkan nenek moyang mereka yang
biasanya berwujudkan binatang. Jenis-jenis ukiran suku Kamoro diantaranya
adalah yamate (perisai), wemawe (patung
orang), po (dayung), paru (mangkuk
sagu), eme (gendang), dan mbitoro (totem leluhur). Setiap
garis keturunan maramowe memiliki motif khas ukiran masing-masing
yang tidak boleh ditiru oleh garis keturunan lain. Untuk motif biasanya
berhubungan dengan alam, bisa saja seperti ikan, kangguru, naga, ular, merujuk
pada wujud nenek moyang mereka. Seni ukir Kamoro memiliki karakter
yang sangat kuat. Biasanya mereka membuat pahatan patung untuk keperluan
upacara adat istiadat. Salah satu pahatan dari suku Kamoro adalah Mbitoro
yaitu pahatan yang dibuat dengan ukuran tinggi dan hanya dibuat untuk upacara
adat karena di dalam pahatan tersebut akan diisi dengan roh leluhur dari suku
Kamoro. Kemudian, ada Yamate yang menggambarkan roh halus yang dipanggil
saat upacara adat, serta pekoro yang merupakan barang multi fungsi karena bisa
dijadikan bantal dan piring mereka untuk makan.
Dalam perjalanannya, seni ukir masyarakat
Kamoro mengalami pasang surut. Ukiran Kamoro ada sedikit sekali, tahun 1950-an sampai
1970-an, Freeport
kemudian datang ke Papua pada tahun 1967, banyak turis yang membeli
ukiran-ukiran suku Kamoro. Harga ukiran tersebut tergantung kualitas. Ukiran
Kamoro hampir punah karena tidak ada pasar yang memfasilitasi penjualan ukiran
mereka. Di samping itu, harga yang ditawarkan oleh calon pembeli termasuk
rendah. Suku Kamoro berpikir buat apa membuat ukiran dengan kualitas yang bagus
namun dihargai rendah. Sekarang, ukiran Kamoro sudah mulai bagus kualitasnya
karena terdapat pasar yang memfasilitasi. Kal Muller bercerita pada awalnya ia
membeli ukiran Kamoro seharga Rp 50.000,00 dan ia menjual ke luar wilayah
Kamoro dengan harga sekitar Rp 200.000,00. Hasil penjualan itu kemudian dibagi
ke pengukir yang ukirannya laku. Kal Muller membuat maramowe kembali produktif dan mulai
mengenalkan ukiran khas Kamoro pada khalayak luas.
Herman merupakan pengukir termuda di suku
Kamoro. Ia bercerita bahwa masyarakat Kamoro hidup dengan sangat sederhana. Mereka
menganut prinsip hidup dengan 3S, yaitu Sampan, Sungai, dan Sagu. 3S ini
menjadi tumpuan dalam mencari nafkah agar bisa menghidupi keluarga. Sebelum
agama masuk, mereka menyembah patung yang diyakini di dalam patung tersebut ada
roh nenek moyang mereka. Namun,
setelah agama masuk, mereka mulai meninggalkan penyembahan terhadap
berhala. Dahulu, masyarakat Kamoro yang membuat ukiran hanya dua orang
karena mereka yang meninggalkan pekerjaan ukiran tersebut berpikir tidak ada
gunanya membuat ukiran karena jarang yang membeli.
Dalam diskusi kali itu, dicontohkan dua
patung wemawe. Setiap bagian pada ukiran tersebut memiliki makna. Tanda
menyilang di samping patung pada sisi kanan dan kiri merupakan aplikasi dari
pusar. Sedangkan bagian
belakang bernama Tawakiro yang merupakan aplikasi dari gigi ikan paus. Mengapa
gigi ikan paus? Karena mereka menganggap erkawe atau moyangnya adalah ikan. Kemudian pada bagian atas patung
merupakan aplikasi dari kepala suku. Yang kedua adalah berwujudkan
kangguru. Di hutan Papua, kangguru, kuskus, anoa, dan babi adalah binatang yang
jumlahnya melimpah. Berbentuk kangguru karena sebagian masyarakat Kamoro
percaya bahwa moyangnya adalah kangguru. Hal tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa kebanyakan dari mereka, meganggap nenek moyangnya berasal dari binatang.
Dalam diskusi tersebut juga disajikan
satu film pendek mengenai pembuatan biro, salah satu patung ukir khas Kamoro. Pembuatan
patung tersebut dilakukan di desa yang tertutup oleh para laki-laki yang memang
terpilih untuk membuatnya, anak kecil dan perempuan tidak diperbolehkan untuk
melihat pembuatannya. Biro digunakan untuk upacara inisiasi. Terdapat bentuk
manusia di bagian batangnya, ini merupakan pengaplikasian terhadap orang-orang
Kamoro yang sudah meninggal (yang kemudian diyakini saat upacara terdapat roh
yang merasukinya). Pembuatan biro masih menggunakan bahan-bahan dan alat-alat
sesuai adat istiadat mereka. Namun, tak jarang juga ditemukan improvisasi yang
lebih modern dalam pembuatannya. Contohnya adalah arang yang terdapat pada
baterai ABC (baterai yang sering ditemukan dalam wilayah Papua) untuk proses
pelekatan yang dahulunya menggunakan darah. Palu peninggalan pun menjadi salah
satu alat yang masih digunakan untuk pembuatan biro, namun terjadi improvisasi
dimana palu tersebut tetap dipahat oleh kayu sisa. Moluska atau kerang yang
sudah dibakar selama satu jam, kulitnya kemudian digerus dan dijadikan cat
berwarna putih untuk memoles patung. Motif-motof yang digunakan dalam biro
adalah gambar binatang seperti biawak, ular, burung enggan yang merupakan
pengaplikasian dari leluhurnya. Pembuatan biro ini menghasilkan sebuah ukiran
kesederhanaan yang anggun dan garis-garis yang seimbang bila ditinjau dari segi
seni. Hasil ketukan pada setiap ukiran merupakan spontanitas. Pengerjaan
pembuatan Biro yang memakan waktu dua hari ini juga menghasilkan motif-motif
rumit yang berisikan puisi alam semesta yang mengelilinginya. Pola-pola dasar
harus mengikuti adat, namun tak menutup sebuah improvisasi pada pembuatannya.
Cat yang digunakanpun masih diambil dari alam seperti dari kulit pohon kakao,
akar-akar pohon, buah, dan daun. Namun, seiring berjalannya waktu, ada beberapa
ukiran yang sudah dipoles dengan cat-cat yang dibeli di toko bangunan. Biro
kemudian diarak dalam perayaan Karapao dan diperlihatkan oleh seluruh
masyarakat Kamoro.
Penyebab memudarnya tradisi mengukir di
Kamoro bukan hanya karena tidak ada pasar yang memfasilitasi hasil kerjainan
mereka, namun juga hasil alam seperti batang pohon sawit yang besar mulai
langka. Di samping itu tak semua pemuda Kamoro mempunyai garis keturunan
maramowe, ada juga yang mempunyai garis keturunan menjadi maramowe namun ia tak
mewarisi tradisi tersebut dikarenakan lebih memilih pekerjaan yang dianggapnya
lebih "pasti" dalam hal pengerjaan dan pendapatan. Pada akhir
diskusi, Kal Muller menghimbau agar masyarakat Indonesia peduli pada seni ukir
Kamoro. Kal Muller dengan dibantu Freeport telah berhasil mengadakan pameran
seni ukir Kamoro di Bali, Bentara Budaya Jakarta, dan terakhir di Universitas
Indonesia demi memperlihatkan salah satu kekayaan budaya Indonesia yaitu seni
ukir Kamoro. Diharapkan tidak hanya turis asing yang membeli ukiran ini, namun
turis lokal juga turut membeli agar seni ukir Kamoro ini tidak punah.
No comments:
Post a Comment