9/8/12

Kembali #1

 

"Hoi, Ndra! Nyampe juga lu, sini-sini, duduk disini" sambutan Niko, teman seperjuangan menulis saya di sebuah komunitas tulis sastra, sedikit menggemparkan perpustakaan ini.

Hari itu saya memutuskan untuk berkunjung ke kota kembang, Bandung. Dua jam perjalanan saja dari ibukota dengan menggunakan fasilitas travel Jakarta-Bandung. Ferdi, teman seperjuangan menulis saya juga, menjemput saya di sebuah minimarket dekat dengan pull travel yang saya naiki. Perpustakaan dengan nama "Rumah Kita" adalah tempat pertemuan saya dan dua orang ini. Entah sudah berapa tahun saya tidak menginjakkan kaki ini ke tanah Bandung. "Rumah Kita" adalah sebuah perpustakaan yang cukup luas, buku-bukunya tertata rapi, terdapat beberapa sofa juga kursi berikut meja di tengah maupun sudut ruangan. Sofa panjang di sudut yang berseberangan dengan pintu masuk utama menjadi lahan jajahan kami. Tujuan saya ke kota kembang ini sebenarnya ingin menyerahkan sebuah janji kepada teman baru saya, Sita namanya. Saya pikir apa salahnya sekalian bermain dengan Niko dan Ferdi, dua teman seperjuangan menulis saya sekaligus penasihat dan komentator tulisan saya yang menetap diri di Bandung. Akhirnya, saya memutuskan untuk bertemu Sita jam empat sore di "Rumah Kita", agar bisa bercengkrama dengan Niko dan Ferdi, saya melandaskan diri tepat pukul sembilan pagi. Niko bilang ia ingin merekomendasikan beberapa buku, membicarakan suatu proyek tulisan baru, sekaligus temu kangen. Iya, saya dan Niko juga Ferdi memang baru empat kali bertemu langsung. Namun, kami bertiga hampir setiap hari berkomunikasi lewat messenger. Membicarakan buku dan tulisan, bercanda, sampai curhat. Tak pernah putus. Niko dan Ferdi senang berteman dengan saya, begitupun sebaliknya.

"Akhirnya, Andra nyamperin kita juga. Enak kan Ndra tempatnya? Gue yakin lu betah lama-lama disini, gue siap merekomendasikan buku-buku tipe lu gitu. Bisa pesen minum sama camilan juga disini" ujar Ferdi.

"Iya, enak ya. Adem lagi. Kenalin gue dong sama tempat ini" pinta saya kepada Niko dan Ferdi.

"Sebelum gue ngenalin sama tempat ini, sama rak-rak disini, sama buku disini. Lu harus kenal sama pemiliknya juga Ndra!" timpal Niko.

"Hah? Pemiliknya ada disini juga?"

"Iya Ndra, Mas Sigit yang gue pernah ceritain itu loh. Dia tinggal disini juga, tuh kamarnya ada di pojokan."

Ferdi kemudian beranjak dari sofa berwarna cokelat susu ini, berjalan ke arah rak nomor enam. Menghilang sebentar, kemudian muncul kembali, berjalan beriringan dengan seorang laki-laki yang kiranya berusia 28  tahun. Wajahnya segar, memakai kacamata berbingkai hitam. Kaos Deep Purple dan celana jeans koyak adalah pakaian yang ia kenakan. Niko dan Ferdi memang sering bercerita tentang Mas Sigit. Kata mereka, Mas Sigit adalah orang yang penuh ide, penuh nasihat nikmat. Dijadikannyalah Mas Sigit sebagai penasihat handal juga teman bercengkrama akrab. Saya belum pernah bertemu dengannya. Saya hanya tahu jika Ferdi dan Niko mendewakan Mas Sigit.

"Ini yang namanya Mas Sigit, Ndra! Doi itu suhu gue deh dalam hal tulis menulis. Doi jago loh nulis, beh tulisannya bisa membelah angin jadi lebih adem, hahahaha" ucap Niko sambil tertawa.

"Halo Andra, saya Sigit" Mas Sigit mengulurkan tangannya, sayapun menyambut dengan memperkenalkan nama saya.

"Mas Sigit gabung aja sama kita ya, nih ada pendatang dari ibukota yang mau kenalan sama Rumah Kita. Dia ini penulis juga, Mas. Cuma, dia agak susah kalo diajak main ke Bandung gini. Katanya sih sibuk kuliah, paling sibuk pacaran aja lu Ndra!" ujar Ferdi.

"Oke, oke saya gabung disini ya. Yo, silakan mau tanya-tanya boleh kok, Ndra" Mas Sigit sudah bergabung dengan kami, sama-sama duduk di sofa ini.

 

Mas Sigit ini adalah pendiri "Rumah Kita". Buku-buku yang terdapat di tempat ini merupakan koleksi kakeknya, bapaknya, dan juga koleksi pribadi. Warisan yang sungguh mengaggumkan. Pagi itu, "Rumah Kita" sudah mempunyai beberapa pengunjung. Saya melihat ke sekeliling, ada yang sedang membaca di pojok kanan sambil menyeruput minuman hangat, ada yang berkutat di rak nomor tiga, di rak nomor lima juga enam. Lampu dengan pendar kuning menghiasi tempat kami karena sofa yang sedang kami duduki ini letaknya agak menjorok ke dalam dan cahaya yang masuk tidak bisa banyak. Indah dan damai. Beberapa buku tua yang sudah koyak diletakkan di meja, tak dirapatkan di rak. Berbagai macam buku ada disini, mulai dari sastra, ekonomi, politik, sampai buku cerita anak-anak dan masih banyak lagi. Perbincangan kami didominasi oleh buku dan penulis kesukaan, bertukar rekomendasi, bertukar ide, bertukar pendapat. Perdebatan tentang satu buku pun hadir di perbincangan ini sampai-sampai beralih ke penulis muda masa kini. Jam menunjukkan angka sebelas, perbincangan yang sangat menyenangkan. Mungkin karena kami berempat memiliki kesamaan yaitu suka membaca dan menulis. Di saat perbincangan ini berhenti sejenak, Niko mengeluarkan sebuah buku dari tas kanvas saya.

"Wuih Ndra, ini lu yang bikin?" tanya Niko sembari melihat buku yang kini ia pegang.

Buku itu adalah janji saya ke Sita. Buku buatan tangan saya sendiri, berisi cerita anak-anak dengan gambar-gambar yang tidak terlalu bagus. Maklum, saya tidak bisa menggambar dengan bagus. Buku tentang perjalanan seekor kucing di kota yang padat. Sita, teman baru saya itu adalah pengajar taman kanak-kanak di Bandung. Perkenalan saya dengan Sita pun berawal dari blog pribadi saya, katanya ia suka cerita-cerita di blog saya yang sederhana, gampang dimengerti, tetapi menarik dan memberi nasihat. Akhirnya, Sita meminta saya untuk membuatkan suatu buku bacaan. Buku tersebut saya tulis, gambar, dan jilid sendiri dengan menggunakan benang warna-warni. Buku itu berpindah tangan ke Mas Sigit. Kulihat ia dengan seksama memerhatikan buku buatan tangan saya itu. Lima menit, Mas Sigit masih membaca buku tersebut. Saya dan Ferdi akhirnya memutuskan untuk berkeliling perpustakaan, mencari buku-buku menarik. Setengah jam saya memutar pada rak nomor satu hingga empat, tambatan hati saya jatuh pada buku "Parfum dan Insiden" milik Seno Gumira Ajidarma.

"Kamu mau mempelajari Timor-Timur, Ndra?" tanya Mas Sigit setelah melihat buku pilihan saya,

"Hm, enggak juga sih Mas. Nggak tau kenapa pilihan saya siang ini jatuh ke buku ini" saya jawab dengan senyum simpul.

"Ndra, kamu disini sampai jam berapa?" tanya Mas Sigit lagi.

"Sampai sore mungkin, Mas. Saya janjian sama teman saya untuk menyerahkan buku buatan saya tadi. Kebetulan tempat bertemunya disini" Mengapa Mas Sigit bertanya seperti itu?

"Ada yang mau saya bicarakan denganmu, Ndra." 

"Tentang apa, Mas? Yaudah atuh bicara aja disini, saya santai kok."

"Harus empat mata, Ndra."

Ferdi dan Niko kemudian  saya lihat dengan refleks memandangi diri saya dan Mas Sigit bergantian, menyerengitkan dahi mereka dan bertanya-tanya mengapa Mas Sigit ingin berbicara dengan saya empat mata. Saya pun berpikir seperti itu. Pentingkah dan betapa rahasiakah pembicaraan yang akan diberikan oleh Mas Sigit?

"Oh, ya sudah Mas. Sekarang aja, duduk di kursi situ aja kali ya" ucap saya sambil menunjuk ke arah dua kursi berhadapan dengan satu meja ditengah, di sudut kanan ruangan.

"Boleh, Ndra. Yaudah kesitu yuk. Saya pamit sebentar ke kamar, dua menit saja. Nanti saya ke kursi itu."

--------------------------------------


Lima menit kemudian, Mas Sigit menghampiri saya di kursi yang telah saya tunjuk. Saya lihat di kedua tangannya ada dua cangkir yang ia bawa, serta satu map plastik yang ia apit di ketiak.

"Minum, Ndra." ia menyilakan saya meminum kopi yang baru saja ia letakan di hadapanku. Kopi? Mengapa harus kopi? Bagaimana ia tahu saya penyuka kopi? Biasanya orang yang bertama kali bertemu denganku tak pernah memberikan kopi. Teh atau sirup, selalu. Apa Ferdi dan Niko pernah bercerita ke Mas Sigit bahwa saya suka kopi?

"Ndra, boleh saya tahu nama lengkapmu?"

"Nama lengkap saya Verandra Satira, Mas. Emang kenapa?"

"Ndra, kamu itu Teh Pera ya?"

Mendengar panggilan tersebut, kepala saya bagai diapit oleh dua bangunan raksasa yang makin menghimpit, menjepit kepala saya hingga mau pecah. Teh Pera. Tahu darimana Mas Sigit tentang panggilan Teh Pera? Panggilan itu sudah tak hadir di insan ini sejak tiga tahun lalu. Tak ada yang mengungkit. Kali ini, sosok lelaki yang baru saya kenal, di depan saya pula, memberikan suatu kejutan: memanggil saya dengan nama Teh Pera. Segala rasa berkecamuk di otak juga hati ini. Mendengar panggilan itu rasanya saya bagai di telan bumi. Bercampur dengan humus di bawah sana.

"Mas tau darimana panggilan Teh Pera itu?" tanya saya dengan hati-hati. Gelisah,

"Andra, kenalin saya Sigit pengajar Anak-Anak Jendela Dunia. Saya baru mengajar mereka lima bulan ini, nggak setiap hari. Jadwal saya cuma di hari Rabu, di kelas menulis dan bercerita."

"Mereka masih ada, Mas?"

"Masih Ndra, masih lengkap bahkan. Sekarang sudah pindah ke daerah Majalaya, di selatan Bandung. Sudah bukan di Bukit Utara lagi Ndra. Kamu sudah tau?"

"Belum, Mas. Saya sudah empat tahun nggak kesana."

"Sore ini kamu mau saya ajak kesana?"

"Entahlah, Mas."

"Saya mohon, Ndra. Kamu mau ya berkunjung hari ini kesana. Saya sungguh memohon. Mumpung kamu lagi di Bandung."

Lima menit tak ada jawaban dari mulut saya. Tangan ini dengan refleks mengetuk-ngetuk tangan kursi. Mata ini hanya memandang ke lantai semen. Saya tak berani menatap mata Mas Sigit. Entahlah apa yang harus saya jawab. Bingung. Gelisah. 

"Oke, Mas Sigit boleh antar saya ke Anak Anak Jendela Dunia hari ini."

Kulihat senyum mengembang dari bibir Mas Sigit. "Terima kasih banyak, Ndra."

"Ngomong-ngomong, Mas Sigit tau darimana saya adalah Teh Pera?"

"Dari buku buatan kamu tadi. Rangkaian kata-katanya, dan yang paling terlihat adalah gambar kamu. Cara kamu menggambar orang, pohon, dan matahari."

Saya keluarkan ponsel saya dan mengirim pesan ke Sita:
Sita, hari ini saya ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Masih di sekitaran Bandung, tapi saya nggak janji bisa sore ini. Saya titip bukunya di Rumah Kita ya, kamu ambil aja. Maaf sekali, semoga lain kali bisa bertemu :)

--------------------------------

"Fer, Nik, kalian mau ikut saya sama Andra?" tanya Mas Sigit ke Niko dan Ferdi yang masing-masing sedang asyik dengan laptopnya.

"Loh, mau kemana Mas?" tanya Niko

"Ketemu Anak Anak Jendela Dunia"

"Oh, jadi si Andra mau dijadiin pengajar disana nih? Sabi, sabi Mas pilihan yang tepat" ucap Niko lagi.

Mas Sigit hanya tersenyum dan saya.... entahlah saya hanya bisa diam. Ternyata Niko dan Ferdi telah mengenal Anak-Anak Jendela Dunia. Orang-orang kesayangan saya pernah saling bertemu tanpa sepengetahuan saya. Kata Mas Sigit, perjalanan membutuhkan waktu hampir satu jam. Kami menggunakan mobil Niko untuk mencapai tempat Anak Anak Jendela Dunia. Sepanjang jalan saya hanya bisa diam, memandang ke arah luar jendela. Saya takut.

-------------------------


"Nah, yuk turun. Ndra, abis ini kita masih jalan sekitar lima belas menit lah. Mobil nggak bisa masuk soalnya" kata Niko sambil memarkirkan mobilnya di tanah lapang. 


Saya memandang kesekeliling, perkampungan dengan jarak yang cukup lebar dari rumah satu ke rumah satunya lagi. Agak gersang, banyak pohon tak hijau, tak berdaun, kering. Anak Anak Jendela Dunia sekarang sudah pindah. Bukan di bukit kesayangan kami lagi, tidak ada ilalang tinggi yang menjadi arena bermain. Tidak ada pohon-pohon rindang yang hijaunya indah dengan hiasan jembatan gantung. Saung tua yang masih layak, mampu menampung dua puluh orang. Semuanya berubah sepertinya. Saya menerka-nerka kediaman Anak-Anak Jendela Dunia saat ini. Apakah mereka masih punya ilalang yang sering digunakan untuk membuat mahkota? Apa mereka masih punya pohon baca? Kami berempat berjalan ke arah perkampungan tersebut.

"Nah abis palang bambu itu Ndra, kita nanti belok kiri. Tiga ratus meter lah dari situ" ucap Mas Sigit

Saya kemudian diam. Tak melanjutkan langkah saya. Diam. Benar-benar diam. Tangan saya memegang erat tas kanvas ini. Ferdi, Niko, dan Mas Sigit juga menghentikan langkahnya, menunggu saya. Menatap penuh tanya. Saya tetap diam. Makin erat genggaman jemari ini ke tas kanvas. Saya memandangi wajah Ferdi, Niko, dan Mas Sigit bergantian.

"Saya perlu menata hati dulu. Saya belum siap." ucapan tersebut menyembur dari mulut saya..

"Ndra, sebentar lagi sampai. Kamu mau berhenti di tengah jalan? Kamu mau perjuangan kamu putus?" tanya  Mas Sigit.

Ferdi dan Niko bingung mendengar percakapan singkat kami. Mereka bertanya apa yang terjadi sebenarnya. Sambil berdiam di tengah jalan, lima meter sebelum palang bambu. Tiga ratus meter sebelum kediaman Anak Anak Jendela Dunia. Pertanyaan Ferdi dan Niko bagai angin, kami berdua tak menjawab. Pandangan saya kosong, saya takut. Pandangan Mas Sigit justru penuh permohonan, bagai anak yang kecewa tak dibelikan mainan oleh orang tuanya. Kulihat Ferdi dan Niko saling melirik, menebak-nebak drama apa yang hadir hari itu.

Sekali lagi saya berkata, "Saya masih perlu menata hati."

(Bersambung)


"Ku merenung, ku merenung kenali hati. Ku melaju, ku melaju menyelami hati. Aku tahu siapa aku sebenarnya. Aku hanya seorang manusia belaka." (SORE)

Lantunan kelana:
SORE - Aku

No comments:

Post a Comment