8/8/12

Jurnal Bian

 

Di ruang lukis Fakultas Seni Rupa, dua insan muda sedang menyibukkan diri. Seorang lelaki dan seorang perempuan. Mereka menyibukkan diri dengan caranya masing-masing, cara kesukaan mereka sendiri. Biasan matahari pukul tiga sore menembus dari jendela, membuat serpihan cahaya keemasan. Aldy adalah mahasiswa desain visual dan Bian adalah mahasiswi arsitektur. Keduanya selalu menghabiskan waktu di ruangan ini, setiap Kamis pukul tiga sore hingga serpihan sinar keemasan hilang, digantikan oleh lampu kuning yang menyinari ruangan ini di kala hari gelap. Keduanya melakukan kegiatan yang berbeda. Keduanya mempunyai jarak dua meter. Keduanya diam, tetapi keduanya diam-diam setiap sepuluh menit saling menatap walau hanya untuk lima detik. Sore itu berbeda, di arah empat, lelaki membuka mulutnya.

Bi, kamu nggak mau ikut ngelukis?

Nggak usah, kamu aja.

Kenapa? Kamu selalu sibuk sama jurnal kamu, memang anak arsi nggak sempat meluangkan waktu barang sehari? Tanya Aldy sedikit meledek, tentunya bercanda.

Selagi aku masih mampu dan niat untuk berkutat dengan jurnalku, mengapa tidak?

Menurut kamu, lukisanku yang ini bagaimana?

Bagus. Bian tersenyum. Manis.

Masa cuma bagus sih komentarnya? Kamu kan anak arsi, ya paling tidak, kamu mengerti sedikit tentang seni gambar lah. Jawab Aldy, kurang puas.

Bagus. Aku suka. Ucap Bian dengan senyum simpul yang kali ini dua kali lipat lebih manis.
Aldy sebenarnya ingin sekali mengajak Bian ikut melukis, bermain cat bersama, menentukan gambar apa yang kelak akan ditorehkan, menentukan warna yang kiranya indah. Berulang kali Aldy mengajak Bian melukis, selalu dijawab dengan kalimat: Nggak usah, kamu aja. Aku suka lukisan kamu. Sebenarnya Aldy kecewa dengan balasan Bian yang selalu diulangnya ketika Aldy bertanya. Namun, bagi Aldy, wujud Bian yang selalu ada dengan jarak dua meter di dekatnya membuat Aldy senang, ditambah senyuman yang manis. Sedikit kalimat yang mereka lontarkan setiap Kamis di ruangan tersebut. Hanya ada diam dan pandangan empat bola mata juga dua senyuman. Bian jarang sekali membuat pembicaraan, selalu Aldy. Sempat Aldy berpikir bahwa Bian merasa bosan dan jenuh setiap Kamis untuk empat jam kedepan yang dimulai saat tiga sore. Sampai suatu Kamis, Aldy mengajak ke taman kota namun ditolak Bian, ia ingin Aldy melukis seperti biasanya. Aldy sempat bingung menghadapi Bian setiap Kamisnya yang selalu diam. Padahal, hanya Kamis lah mereka bisa bersama. Jadwal kuliah serta kegiatan kampus Aldy dan Bian yang selalu bertolak belakang menyebabkan Kamis merupakan hari mereka bersama. Bian selalu sibuk dengan jurnalnya, kadang ia membawa macam-macam spidol dan penggaris. Aldy rasa ia mengerjakan tugas merancang suatu bangunannya. Aldy sempat melirik ke arah jurnal tersebut, namun Bian selalu membalikannya ke arah yang masih kosong. Pernah Aldy bertanya, bangunan apa yang sedang Bian rancang. Bian hanya menjawab: bangunan manis. Aldy memutarkan bola mata, menyeringatkan dahi dan muncul pertanyaan di benaknya: bangunan toko cupcake? Bangunan toko es krim? Atau butik perempuan? Kamis ke tujuh belas, seperti biasa jam delapan malam Aldy mengantarkan Bian pulang ke rumah sehabis mereka makan malam sederhana bersama. Kamis malam itu berbeda, Bian tiba-tiba membuka ransel Aldy yang sudah berwarna usang. 

Loh, ngapain jurnal kamu dimasukkin ke tas aku?

Kamu selama ini pengen liat kan bangunan manisnya? Itu aku kasih liat, liatnya dirumah aja ya. Maaf ya aku selalu berkutat sama jurnalku setiap sama kamu.

Malam itu Aldy mengusap-usap poni rata di dahi Bian lebih lama, lalu mencium keningnya sebelum Aldy melesat ke rumah untuk melihat jurnal yang berisi rancangan bangunan dari Bian. Sesampai di rumah Aldy membuka jurnalnya yang dibungkus map berwarna hitam polos. Saat jurnal deikeluarkan, tertera tulisan WORDS ARE PICTURE. Tidak ada rancangan bangunan di dalam jurnal ini, lalu buat apa penggaris bermacam-macam yang biasanya dimiliki anak arsitektur? Aldy lihat lembar demi lembar bergariskan bingkai warna-warni, ternyata penggaris tersebut untuk garis bingkai tiap lembarannya. Isi jurnal tersebut memberikan kejutan, belasan cerita warna-warni yang masing-masing terdapat sketsa seperti sketsa lukisan Aldy, sketsa Aldy sendang melukis, sketsa bingkai jendela di ruangan lukis, sketsa palet berserakan. Aldy membuka halaman tengah:

Sudah delapan kali, ia mengajakku untuk ikut melukis. Aku hanya ingin melihat dirinya sendiri melukis, melihat tangannya menari di atas kanvas, melihat jemarinya terkena bercakan cat warna-warni, tanpa gangguan siapapun. Bagiku dia adalah pelukis hebat. Aku hanya ingin melihatnya dengan seksama. Terkadang aku tersindir dengan kalimat "Dasar anak arsi, kayak gini masih aja ngurusin rancangan bangunan" walaupun ia bercanda. Namun, semua terbayar dengan kebahagiaan pemandangan dirinya yang sedang melukis. Beruntungnya aku bisa melihatnya melakukan kegiatan kesukaannya, seorang diri.  Aldy, melihatmu seorang diri melukis aku sudah senang. Aku suka. Lukisanmu selalu bagus. Terkadang kata-kata yang ada di pikiran dan hati hanya bisa dituangkan di lembaran kertas ini. Kata-kata di lembaran ini adalah gambar. Gambar kebahagiaan dirimu dan diriku. Sejatinya, kata-kata adalah gambar. Dengan kata-kata kamu bisa membayangkan suatu cuplikan gambar dengan imajinasimu sendiri. Aku cukup duduk di kursi kayu melihat gerakan tanganmu, senyummu, matamu dari jarak dua meter untuk membuat kata-kata tentang kita. Kata-kata yang kelak akan memunculkan gambar-gambar yang rela menari di pikiran mengenai Kamis milik kita ketika ingin mengulang memori manis tersebut.

" If only I'd thought of the right words, I wouldn't be breaking apart all my pictures of you." (The Cure)

Lantunan kelana:

*Foto diambil saat Bazaar Art Jakarta 2012 di galeri Ruang Rupa merupakan karya Henry Foundation.



The Cure - Pictures Of You by marcuscorrea

No comments:

Post a Comment