8/11/12

Rumah Rindu


Aku selalu melihat sosoknya di lantai empat, lantai paling atas bangunan tua tersebut. Bangunan yang sedari aku lahir sudah kosong, namun baru beberapa minggu ini hadir satu sosok tersebut. Kata Ibu, penghuni baru. Aku selalu melihatnya di jam empat sore, perempuan berkerudung tersebut terlihat sedang duduk menghadap ke luar jendela sambil membaca surat kabar lokal. Sejam saja ia tampak dalam kesehariannya. Tak pernah kulihat dirinya di teras rumah, di jalan depan rumahku dengan rumahnya. Tergelitik rasa penasaranku, namun hanya bisa kutanya lewat Ibu. Ibu bercerita bahwa ia juga tak mengetahui sosok perempuan berkerudung itu. Ibu juga tak tahu asal muasal rumah yang bekas toko obat itu, sejak keluarga kami pindah, rumah itu memang tak berpenghuni. Kosong.

Sore itu aku mencoba memberikan senyum sore kepadanya, tentunya saat matanya sedang melihat ke arah jalan, bukan ke arah surat kabar. Namun, tak disangka, dirinya justru pergi meninggalkan bingkai jendela usang itu. Rasa penasaran memuncak tinggi, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Memberikan sebuah senyuman saja ditolaknya. Aneh. Sosok itu memang benar-benar aneh.

Suatu sore, empat hari menjelang hari raya lebaran, Ibu menyuruhku memberikan dua toples kue kering untuk rumah yang dihuni sosok perempuan berkerudung itu. Hatiku gundah tak karuan. Bagaimana caranya? Tempo sore saja ia menolak senyumanku. Ibu bersikeras untuk memberinya dua toples kue kering buatan tangan Ibu. Perintah Ibu tak bisa ku tolak. Mungkin ini memang saatnya aku menuntaskan rasa penasaran walaupun tertutup kabut gundah, cemas, dan sedikit rasa takut.

Tok, tok, tok. Ku ketuk pintunya dengan memberi salam. Ada jawaban salam yang halus dari dalam, kuyakin pasti dirinya. Siapa lagi memang? Kemudian pintu kecil di samping pintu toko terbuka.

Siapa ya?

Hmmm, saya Rania, tetangga depan rumah, Mbak.

Oh, silahkan masuk.

Hatiku tambah cemas, entah permainan apa yang sedang aku lakukan sore itu. Rumah tua, sosok perempuan berkerudung misterius, dan bayangan penolakan senyum tempo sore.

Silakan duduk.

Aku mengedarkan pandangan ini secepat kilat. Aku bisa menangkap beberapa bingkai foto usang yang terdiri dari banyak muka. Sebuah piano usang. Beberapa vas bunga cantik. Satu set sofa dan meja berwarna cokelat keemasan. Ruangan yang temaram dan dingin. 

Ada apa ya?

Hmm, ini Mbak, saya mau memberikan kue kering buatan Ibu saya. Bagi-bagi ke tetangga.

Oh, makasih ya, ngerepotin.

Nggak kok, Mbak.

Oh ya, kenalin, saya Aisyah.

Rania

Awalan pemberian dua toples kue kering menjadi satu bingkai cerita yang tak pernah kulupakan. Aisyah bercerita banyak tentang dirinya dan rumah tua ini. Rumah sekaligus toko obat ini adalah peninggalan orang tuanya. Dua puluh tahun silam, saat dirinya masih berumur dua bulan. Tak pernah ia ingat wajah orang tuanya, kecuali dari foto usang yang saat ini terpampang di depan pandanganku. Dua puluh tahun menimbang-nimbang untuk menempati rumah yang awalnya kosong ini, rumah tua, rumah yang terlalu besar di pemukiman yang jauh dari pusat kota. Rasa sayang pada mendiang orang tua yang mendorong keputusan Aisyah untuk menempati rumah ini. Pertama kali melihat bangunan ini, ia merasa terpanggil untuk ditempati. Untuk diberi cerita baru penghuninya. Rumah ini memberikan atmosfer suatu keinginan: ingin diajak bicara apa saja dan oleh siapa saja. Rumah ini rindu pada siapapun jiwa yang ikhlas menempatinya.

Kenapa nggak pernah keluar rumah Mbak?

Pernah kok, masa selalu di dalam rumah sih.

Maksudnya, kenapa jarang?

Meja, kursi, dan seisi rumah ini senang jika aku di rumah. Sunyi pun lenyap.



"Rumah kosong sudah lama ingin dihuni. Adalah teman bicara; Siapa saja atau apa." (Banda Neira: musikalisasi puisi "Rindu" oleh Subagio Sastrowardoyo) 

Lantunan kelana:


Rindu (musikalisasi puisi Subagio Sastrowardoyo) by Banda Neira

No comments:

Post a Comment