Jika mendengar pementasan wayang, sepintas dugaan durasi lama dan "cerita berat" terkadang hadir dalam pemikiran kita. Lain halnya dengan pementasan Wayang Climen dari Solo, mereka menampilkan suatu pementasan dengan bongkaran tradisi pementasan wayang purwa, menyajikan cerita dengan sederhana seperti durasi lebih singkat, tidak memakan banyak waktu dan biaya juga jumlah pemusik. Pementasan Wayang Climen itu hadir dalam rangkaian Festival Salihara keempat pada tanggal 27 September lalu yang bertempatkan di Galeri Salihara. Pukul delapan lewat sepuluh menit, bunyi gong ketiga memekakkan telinga, tanda pementasan akan segera dimulai. Kemudian dari arah belakang tempat duduk penonton, terlihat Ki Jlitheng Suparman, yang merupakan dalang, dengan didampingi satu pesinden dan tujuh pemusik. Nirasmara adalah lakon yang malam itu dibawakan oleh Wayang Climen. Merujuk pada buku saku Festival Salihara keempat, Nirasmara adalah lakon Yunani dalam rasa Jawa, diadaptasi dari Lysistrata karya Aristophanes, sebuah lakon Yunani klasik. Lysistrata bercerita tentang ancaman perang yang sudah di depan mata antara Athena dan Sparta. Karenanya, para perempuan dari kedua negara kota itu mogok seks agar perang batal. Wayang Climen memindahkan peristiwa ini ke detik-detik menjelang pecahnya perang Bharatayudha yang melibatkan keluarga Pandawa dan Kurawa. Demi mencegah perang saudara, Sumbadra dan perempuan-perempuan lain di kerajaan Astina dan Amarta juga mogok seks.
Ki Jlitheng Suparman turut menghadirkan dagelan-dagelan masa kini, seperti di awal pementasan beliau menggumam "Iki di-setting silent yo? Kok meneng?" pada lakon Semar yang kemudian dilanjutkan "Yowis, ta' setting geter dadi ndrrrt... nddrttt..." ucapnya meniru suara getaran dari telepon genggam. Dagelan tersebut merujuk pada suasana penonton yang sunyi, kontan para penonton tertawa setelah mendengar tiruan suara getaran telepon genggam tersebut. Pelafalan bahasa Betawi-pun turut dimasukan dalam cerita Nirasmara, seperti pada dialog "Kalo di Jakarte, semuanye harus berakhiran e..e..." "Kalo gula dadi opo?" "Gule!" "Loh gule?" "Gula!", dialog ini yang juga menuai tawa dari para penonton. Selain itu, pemusik pada durasi akhir pementasan memasukan lagu khas Betawi yaitu "Ondel-Ondel" juga tembang lawas milik Koes Plus.
Pementasan berdurasi sekitar dua jam tersebut berhasil menghibur para penonton dengan mengenalkan kesederhanaan pementasan wayang yang berbeda dari segi durasi, pemusik, dan tempat. Beruntung ibu kota memiliki naungan kesenian seperti Salihara yang menghadirkan pementasan wayang (yang bisa dibilang sudah hampir tidak ada di Jakarta).
Dengan pembawaan yang sederhana, Wayang Climen berhasil mengembalikan kekuatan pertunjukan wayang sebagai sastra lisan (media informasi, hiburan, pendidikan) yang menjangkau khalayak luas.
No comments:
Post a Comment