Aku mau istana yang besar nanti di atas ada benderanya.
Bendela dalimana?
Bendera dari daun aja, kamu ambil gih daunnya disana.
Aku mau bendela walna walni buat istanaku, nanti ada jalan buat kuda-kudanya.
Begitulah percakapan yang kudengar dari dua anak kecil di seberangku. Dari kejauhan aku memperhatikan dua lelaki kecil yang kira-kira berusia
empatdan enam tahun sedang membuat istana pasir menggunakan satu
set pembuat istana mainan. Tak jauh dari mereka ada beberapa orang
dewasa yang kuyakini adalah orang tua beserta keluarganya. Setelah istana berbendera daun kering jadi, dua insan kecil berlari ke arah orang tua mereka. Duduk di pangkuan sambil melihat istana manis yang mana buah hati mereka buat.
Istana, bendera, kuda. Waktu ku berumur delapan tahun, aku berhasil mewujudkan impianku. Pergi ke istana dimana di puncak istana terdapat bendera warna-warni, tujuh jumlahnya. Di sana juga ada kuda warna-warni yang bisa dinaiki dengan memasukan beberapa koin. Ya, sepuluh tahun yang lalu aku berhasil menginjakkan kakiku di Jakarta, tepatnya di istana anak-anak Taman Mini Indonesia Indah bersama saudaraku yang memang tinggal di Jakarta. Sepuluh tahun yang lalu aku naik bis dengan dititipkan supir bis Pangandaran - Jakarta yang memang tetanggaku. Seorang diri aku pergi ke Jakarta namun dijemput saudara saat di terminal. Mengapa sendiri? Karena itu hadiah ulang tahunku. Sejak kecil aku merengek minta diantarkan ke Taman Mini untuk melihat istana yang megah, waktu itu aku lihat di televisi. Mengapa orang tuaku tidak serta? Karena uangnya pas-pas-an. Maklum, aku terlahir di keluarga yang bisa dibilang taraf hidupnya masih dibawah. Padahal aku ingin sekali menunjukan ke Ibu dan Bapak bagaimana megahnya istana yang kulihat sepuluh tahun yang lalu, melihat badut-badut konyol yang berkeliaran, kuda-kuda mainan warna-warni, tujuh bendera berkibar di puncak istana, dan rombongan keluarga dengan senyum mengembang. Namun, sepuluh tahun yang lalu adalah penyesalan bagiku. Sepuluh tahun yang lalu, tsunami menghantam pantai Pangandaran. Pantai dimana terdapat rumahku berdiri tegak. Rumah dimana berisikan orang kesayanganku. Saat aku sedang menyaksikan megahnya istana di Taman Mini dan orang tuaku kuyakini sedang berusaha menghindar ombak raksasa yang mengerikan.
Sari, kamu yang hati-hati di Jakarta. Jakarta teh luas, kamu jangan jauh-jauh dari Teteh Asri ya! Ibu pengen ikut tapi uangnya belum cukup, nanti kamu ceritakan aja gimana istana disana.
Salam buat Teteh Asri dan Kang Asep disana ya, Bapak yakin nanti kita semua bisa kesana sama-sama. Liat istana yang kamu bilang bagus itu. Nanti kamu foto aja sama tukang foto disana, paling cuma tiga ribu. Nanti Bapak kasih duit lebih, biar Bapak bisa liat Sari di depan istana.
Dua kalimat terakhir yang kuingat di pikiranku. Dua kalimat manis yang menggetarkan hatiku. Merayuku untuk menjatuhkan tetesan air. Aku melihat ke arah kaki, di depan kaki ku sekarang terdapat istana. Istana pasir yang manis. Beberapa detik kemudian istana manis tersebut tersapu ombak yang mulai pasang. Harapan manis di istana bersama orang tuaku pupus sudah ditelan ombak ganas sepuluh tahun yang lalu. Ibu, Bapak, kelak kalian berdua bisa tinggal di istana surgawi sana. Aku akan mendekap tubuh kalian berdua dengan erat karena aku rindu. Kita akan bercanda dan tertawa di pelataran istana atau puncak istana. Aku memandang langit biru di atas sana. Kita akan bertemu di istana manis.
"Hanya satu pintaku tuk memandang langit biru dalam dekap Ayah dan Ibu." (Mocca)
Lantunan kelana:
Mocca - Hanya Satu
No comments:
Post a Comment